Calon Petahana Pilkada Pelanggar Protokol Kesehatan Diklaim Sudah Ubah Perilaku Setelah Ditegur
Ilustrasi/Pixabay

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik mengklaim calon kepala daerah pelanggar protokol kesehatan yang berstatus petahana telah mengubah perilakunya. Kondisi ini terjadi setelah Kemendagri memberi teguran keras terhadap 85 orang calon petahana yang membuat kerumunan massa saat melakukan pendaftaran  ke Kantor KPU.

"Hampir 85 orang kepala daerah yang kita berikan teguran keras. Setelahnya, kita memantau. Ternyata, rata-rata kepala daerah yang tertegur mengubah perilakunya," kata Akmal dalam diskusi webinar, Rabu, 23 September.

Bahkan, kata Akmal, calon yang masih berstatus kepala daerah tersebut berjanji akan melaksanakan tahapan pilkada selanjutnya, seperti masa kampanye, dengan menerapkan protokol kesehatan.

"Selanjutnya melalui koordinasi di masing2 daerah akan mendukung kelanjutan pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan yang ketat," ujar dia.

Diketahui, saat masa pendaftaran pasangan calon, Bawaslu menemukan 243 pelanggar protokol kesehatan, seperti arak-arakan dan pengumpulan massa. Tercatat, 85 di antaranya adalah calon petahana. 

Kata Akmal, ada penindakan terhadap kepala daerah terpilih yang melanggar protokol pencegahan COVID-19 berulang kali saat proses pilkada.

Dalam kewenangannya, Kemendagri bisa menunda pelantikan pasangan calon yang telah terpilih menjadi kepala daerah. Dalam penundaan itu, Kemendagri akan "menyekolahkan" kepala daerah tersebut.

"Kami sedang mempertimbangkan opsi sanksi terhadap para paslon yang berkali-kali melakukan pelanggaran. Kita akan beri sanksi penundaan pelantikan. Kita sekolahkan dulu 6 bulan, baru nanti dilantik," tutur Akmal.

Akmal menyebut, pasangan calon terpilih yang sempat melanggar protokol akan "disekolahkan" di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendagri. 

Nantinya, selama "disekolahkan" mereka akan mendapat pelatihan serta pendidikan mengenai kepatuhan menjalani aturan perundang-undangan selama enam bulan. Setelah itu, kepala daerah terpilih baru bisa dilantik