Menyoal Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan Pilkada yang Antiklimaks
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pengaturan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan saat menjalani tahapan Pilkada 2020 dianggap antiklimaks. Larangan dan sanksi bagi peserta pilkada dalam penerbitan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tak memuaskan banyak pihak.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menganggap hukuman bagi peserta, baik pasangan calon, partai politik, maupun tim kampanye Pilkada 2020 masih lemah.

"Terkait sanksi di PKPU ini sangat lembek. Umumnya hanya peringatan tertulis, tidak ada yang lebih serius seperti dilaporkan kepada polisi, lalu polisi yang kemudian diharapkan memberikan hukuman bagi para pelanggar protokol kesehatan," kata Lucius kepada VOI, Jumat, 25 September.

Lucius menganggap, penerapan sanksi bagi pembuat kerumunan di masa pandemi COVID-19 oleh KPU tidak akan membuat pelanggar protokol kesehatan jera. 

"Sanksi-sanksi ini saya kira akan dengan mudah kemudian dianggap remeh oleh paslon. Sehingga, dikhawatirkan penyebaran COVID-19 itu akan meningkat," ungkapnya.

Lemahnya sanki pelanggar protokol kesehatan dalam tahapan Pilkada 2020 juga disoroti oleh Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyani. 

Khoirunnisa menyayangkan KPU, pemerintah, dan DPR RI yang memiliki semangat mengubah aturan hanya pada peraturan KPU. Yang nyatanya, KPU tidak bisa memberikan sanksi administratif secara tegas seperti pembatalan (diskualifikasi) sebagai pasangan calon di Pilkada 2020.

Sebab, kata dia, penyusunan aturan di Pilkada 2020 masih harus berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengenai Pilkada, di mana memuat aturan pemilihan di masa normal dan bukan saat pandemi.

"KPU tidak bisa mendiskualifikasi karena di UU Pilkada tidak ada ketentuan tentang hal tersebut. Sehingga, KPU tidak bisa membuat ketentuan tersebut di PKPU. Di UU Pilkada, sanksi diskualifikasi hanya bisa untuk pelanggaran politik uang," ujar Khoirunnisa.

Oleh karenanya, Khoirunnisa meminta otoritas dan penyelenggara untuk menunda pelaksanaan pilkada. Keinginan penundaan ini juga telah diutarakan oleh sejumlah tokoh seperti Wakil Presiden RI ke-12 Jusuf Kalla, pimpinan PP Muhammadiyah, dan PBNU.

Ketika menunda pelaksanaan pemilihan, Khoirunnisa menyebut pemerintah, KPU, dan DPR bisa menyusun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang mampu mengatur sanksi lebih tegas bagi pelanggar protokol kesehatan.

"Kami sebetulnya mengusulkan perlu ada Perppu untuk mengatur sanksi ini. Dalam situasi seperti ini tidak bisa hanya mengandalkan peraturan di PKPU," jelas Khoirunnisa.

"Dorongan penundaan pilkada bukan berarti ditunda sampai pandeminya selesai, karena kita tidak ada yang tahu kapan pandemi ini berakhir. Tapi, setidaknya kita lebih siap dalam regulasi yang lebih adaptif dengan situasi pandemi," lanjutnya.

Sebagai informasi, KPU menerbitkan PKPU Nomor 13 Tahun 2020 sebagai perubahan PKPU Nomor 6 Tahun 2020 soal pelaksanaan pilkada di masa pandemi. 

Dalam Pasal 58 PKPU ini, partai politik, pasangan calon, dan tim kampanye mengutamakan metode kampanye terbatas dengan ketentuan berada di dalam gedung dan membatasi jumlah peserta maksimal 50 orang.

Lalu, Pasal 63 yang menyebutkan bahwa kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dalam bentuk Kampanye melalui media sosial dan media daring.

Kemudian, ada penegasan larangan kampanye konser musik dan sejenisnya dalam tambahan Pasal 88C dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2020.

"Partai politik, gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye dilarang melaksanakan kampanye rapat umum, pentas seni, panen raya, konser musik, gerak jalan santai, sepeda santai, perlombaan, bazar, donor darah, dan peringatan hari ulang tahun partai politik," tulis PKPU tersebut.

Adapun sanksi paling ringan yang bisa dikenakan bagi pelanggar protokol kesehatan dalam PKPU 13 Tahun 2020 adalah teguran tertulis dari Bawaslu.

Selain itu, ada sanksi lain berupa penghentian dan pembubaran kampanye secara paksa di tempat terjadinya pelanggaran jika tidak segera membubarkan diri dalam waktu satu jam setelah diberi peringatan.

Lalu, sanksi yang paling berat adalah larangan melakukan metode Kampanye yang dilanggar selama 3 hari berdasarkan rekomendasi Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota.