Kemendagri Kaji Opsi Sanksi Tunda Pelantikan Kepala Daerah Terpilih Pelanggar Protokol COVID-19
Ilustrasi/pixabay

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menegaskan penindakan terhadap kepala daerah terpilih yang melanggar protokol pencegahan COVID-19 berulang kali saat proses pilkada.

Dalam kewenangannya, Kemendagri bisa menunda pelantikan pasangan calon yang telah terpilih menjadi kepala daerah. Dalam penundaan itu, Kemendagri akan "menyekolahkan" kepala daerah tersebut.

"Kami sedang mempertimbangkan opsi sanksi terhadap para paslon yang berkali-kali melakukan pelanggaran. Kita akan beri sanksi penundaan pelantikan. Kita sekolahkan dulu 6 bulan, baru nanti dilantik," tutur Akmal di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin, 7 September.

Akmal menyebut, pasangan calon terpilih yang sempat melanggar protokol akan "disekolahkan" di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendagri. Nantinya, selama "disekolahkan" mereka akan mendapat pelatihan serta pendidikan mengenai kepatuhan menjalani aturan perundang-undangan selama enam bulan. Setelah itu, kepala daerah terpilih baru bisa dilantik.

"Kami, pemerintah tentunya akan segera mengomunikasikan dengan pihak-pihak terkait, dengan kepolisian, dan pihak-pihak lain yang barangkali akan mampu menertibkan agar tahapan-tahapan ini mematuhi prtokol kesehatan," tutur dia.

Sebelumnya anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar menyebut akan ada sanksi yang dikenakan kepada peserta pilkada pelanggar protokol kesehatan. 

Sanksi pelanggar protokol kesehatan diatur dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 dan Peraturan Bawaslu Nomor 4 Tahun 2020. Sanksi dalam kedua aturan tersebut bersifat administratif. Namun, ada potensi sanksi yang lebih berat yakni berupa ancaman pidana.

"Selain aturan mengenai pilkada, ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan yang memiliki dampak pidana," kata Fritz di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin, 7 September.