JAKARTA - Susi Air akhirnya mengungkap sejumlah hal terkait pengusiran pesawatnya dari Bandara Kolonel RA Bessing Malinau oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Mulai dari estimasi kerugian hingga kemungkinan membawa peristiwa ini ke jalur hukum disampaikan.
Melalui konferensi pers yang dilakukan secara daring, Susi Air mengungkap potensi kerugian yang mereka alami bisa mencapai miliaran rupiah. Angka ini didapat dari perhitungan yang dilakukan atas akibat yang ditimbulkan dari pengusiran yang terjadi pada Rabu, 2 Februari lalu.
"Cost yang kami hitung (kerugian, red) totalnya lebih kurang Rp8,9 miliar secara perhitungan dari bagian operasional dan atas kejadian yang terjadi kemarin (pengusiran dari hanggar bandara, red)," kata Donal dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Jumat, 4 Februari.
Donal kemudian memerinci angka tersebut muncul karena adanya pembatalan jadwal. "Kenapa schedule terjadi karena kemudian hanggar itu adalah tempat perbaikan maintenance rutin pesawat baik 100 jam atau maintenance 200 jam," ujarnya.
"Ketika tempat maintenance terganggu itu akan mengganggu proses rutin maintenance pesawat. Susi Air sangat ketat dalam proses maintenance karena ini bicara soal risiko penerbangan," imbuh Donal.
Selain itu, kerugian ini ditimbulkan akibat adanya biaya ekstra untuk membayar pilot. Kemudian, biaya ekstra juga dikeluarkan karena Susi Air harus menyewa helikopter untuk memindahkan peralatan dan pesawat tanpa mesin dari hanggar tersebut.
"Kami tentu saja kalau mau memindahkan seluruh alat-alat tersebut harus menyewa heli untuk kemudian mengangkat sejumlah pesawat yang kemudian dalam kondisi hari ini tanpa mesin atau tanpa engine," tegas Donal.
"Itu salah satu kondisi yang terjadi secara kalkulatif perusahaan dan kerugian yang sifatnya real dan potensial akibat kondisi penggusuran paksa kemarin," tambah pengacara tersebut.
BACA JUGA:
Bakal tempuh jalur hukum
Selain kerugian, Susi Air juga menyatakan ada pelanggaran pidana yang terjadi pada peristiwa tersebut. Sehingga, mereka akan mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum.
"Kami mempertimbangkan menempuh langkah hukum atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pejabat atas tindakan sewenang-wenang tersebut," ujar Donal.
Dia merinci ada potensi pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam pengusiran tersebut. Di antaranya, tentang Satpol PP dalam proses pemindahan paksa itu.
Menurut Donal, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2010 Satpol PP bertugas untuk menegakkan peraturan daerah dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Sehingga, tidak tepat jika pemindahan barang seperti pesawat dilakukan Satpol PP.
"Yang banyak kita pahami adalah Satpol PP dipakai untuk ketertiban masyarakat oleh kepala daerah kalau ada kasus-kasus pasar-pasar ilegal atau Pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan tanpa hak dan tanpa izin, makanya kemudian dianggap mengganggu ketertiban umum dan ketentraman baru itu dilakukan," jelasnya.
"Pesawat Susi Air ini berada di hanggar bukan melanggar ketertiban ketentraman masyarakat sehingga menjadi keliru sekali ketika itu dilakukan oleh Satpol PP," imbuh Donal.
Selain itu, Satpol PP yang saat itu mengeluarkan barang secara paksa dari hanggar bandara juga tidak menunjukkan surat tugas. Padahal, surat ini penting untuk diberikan kepada pihak Susi Air.
"Petugas yang ada tidak menyerahkan atau menunjukkan surat tugas ke bandara maupun kepada Susi Air," ujarnya.
Berikutnya, Donal juga mengatakan ada beberapa aturan yang dilanggar dalam pengusiran tersebut yaitu UU Nomor 1 Tahun 2009.
Selanjutnya, dia mengatakan pada Pasal 210 perundangan tersebut dijelaskan setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan, melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandara.
Berikutnya, pada pasal 344, setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang atau yang sedang di darat. Lalu, masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah.
"Informasi yang kami peroleh tidak ada izin tertulis dari otoritas bandara untuk itu dilakukan," katanya.
Sehingga, ada ancaman pidana yang diduga dilanggar dari peristiwa pengusiran itu. "Apa sanksi pidananya, ada ada ancaman pidana Pasal 210 yang diduga dilanggar tadi atau pasal 344 huruf C, itu kemudian potensi pidana penjara selama 1 tahun kalau berkaitan dengan Pasal 210 dan denda Rp 100 juta. sementara kemudian pasal 344 itu ancamannya 1 tahun dan Rp 500 juta berkaitan dengan denda," jelas pengacara tersebut.
Tak ada unsur politik murni bisnis
Dalam kesempatan itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang juga pemilik PT ASI Pudjiastuti Aviation atau Susi Air meminta semua pihak tidak mengaitkan pengusiran pesawatnya dari Bandara Malinau dengan masalah politik.
Menurutnya, persoalan yang ada saat ini adalah murni terkait bisnis. "Jangan sampai berpikir lain daripada persoalan Susi Air dan penerbangan tidak ada unsur politik di sini, tidak ada saya juga tidak berpikir begitu," tegasnya.
Susi yang mengikuti konferensi pers dari pinggir pantai di Pangandaran, Jawa Barat itu mengaku prihatin atas tindakan Pemerintah Kabupaten Malinau. Dia sebenarnya berharap semua pihak dapat bijak dan mengutamakan kebutuhan masyarakat.
"Tetapi, ya, sebagai pemilik dan melihat anak saya struggle ya sedih saja prihatin saja ya semoga ya, semoga semua menjadi bijak dan mengerti bahwa kebutuhan masyarakat adalah di atas segalanya," ucapnya.
"Karena kalau pakai speedboat kalau tidak salah 8 jam. Kalau Susi Air masih bisa terbang tentunya terus membantu. Kita di sana sudah dari tahun 2007-2008 as long time ago, sudah lama dan masyarakat juga sudah terbiasa dengan Susi Air," pungkas Susi.