Bagikan:

JAKARTA - Penutupan sejumlah klinik aborsi di kawasan Senen, Jakarta Pusat oleh polisi besama Dinas Kesehatan DKI Jakarta sulit dilakukan. Hal ini karena pengakuan masyarakat tidak dirugikan dengan keberadaan klinik tersebut.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus mengatakan, sudah beberapa kali pihaknya turun ke lapangan. Namun, warga sekitar selalu mengklaim tak pernah merasa dirugikan dengan kehadiran klinik-klinik aborsi tersebut.

"Yang menjadi permasalahan, kami tanya ke masyarakat di lokasi mereka selalu bilang tidak mendapat kerugian, ini yang menghambat, kadang ada yang dapat untung contoh berjualan," ucap Yusri kepada wartawan, Kamis, 3 September.

Praktik aborsi ilegal di klinik-klinik itu pun seolah kucing-kucingan dengan petugas. Ketika dilakukan penindakan pada satu klinik, maka, klinik lainnya akan menghilang sementara waktu.

Semisal, ketika polisi menindak klinik aborsi Paseban, Jakarta Pusat, pada Februari 2020. Usai penindakan itu tak ada lagi klinik aborsi ilegal yang membuka praktiknya. Tetapi selang beberapa waktu mucul satu per satu klinik serupa.

Hingga akhinya, polisi kembali menggerebek klinik aborsi di Raden Saleh pada awal Agustus lalu. Bahkan, berdasarkan hasil pemeriksaan klinik itu sudah beroprasi sejak lima tahun lalu.

"Ini kucing-kucingan, setelah terjadi penggerebekan pasti tiga sampai empat bulan tiarap semua. Ada kemungkinan mereka geser tempat," kata Yusri.

Sebelumnya, pada pengungkapan klinik aborsi di Jalan Raden Saleh, polisi menetapkan 17 orang tersangka yang terdiri dari dokter, perawat, pelayan, calo hingga pelaku yang menggugurkan kandungannya.

Perkara ini terungkap berdasarkan pengambangan kasus pembunuhan warga negara asal (WNA) asal Taiwan, Hsu Ming Hu. Sebab, tersangka berinisial S sempat menggugurkan kandungannya di klinik tersebut.

Pasal yang dikenakan kepada para tersangka antara lain Pasal 299, 346, 348 ayat 1 dan 349 KUHP serta Pasal 194 juncto Pasal 75 tentang kesehatan dan Pasal 77A juncto Pasal 45A UU Perlindungan Anak.