Pimpinan Kemenkum HAM Bakal Periksa Dugaan Korupsi Dana Penanganan COVID-19 di BPSDM
Ilustrasi-(Foto: DOK ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) bakal memeriksa temuan Indonesian Club terkait dugaan korupsi anggaran COVID-19 di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenkum HAM senilai Rp 5,64 miliar.  

Isu dugaan korupsi Dana Penanganan COVID-19, meliputi Pengadaan Obat dan Multivitamin Palsu itu sudah menjadi perhatian kementerian yang dipimpin Yasonna H. Laoly. 

"Isu itu sudah menjadi atensi pimpinan dan direncanakan akan dilakukan pemeriksaan," ujar Bagian Humas KemenkumHAM Tubagus Erif Faturahman saat dihubungi, Rabu, 19 Januari. 

Namun, Tubagus belum bisa menyebutkan kapan pemeriksaan terhadap BPSDM akan dilakukan.

"Terkait waktunya, belum ada kepastian," katanya. 

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Habiburokhman mengatakan pihaknya akan memeriksa data-data dari dugaan korupsi anggaran COVID-19 di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) senilai Rp 5,64 miliar. 

"Nanti kita lihat datanya seperti apa," ujar Habiburokhman di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 17 Januari. 

Politikus Gerindra itu mengatakan, apabila benar terdapat unsur korupsi dari kasus tersebut maka Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengusut tuntas. "Tindak pidana korupsi ya tentu harus diselesaikan dalam konteks hukum," kata Habiburokhman. 

Diketahui, Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro mengungkapkan adanya dugaan korupsi Dana Penanganan COVID-19, meliputi Pengadaan Obat dan Multivitamin Palsu. 

Tuduhan tersebut muncul karena obat dan multivitamin tidak sesuai dengan spesifikasi BPOM. Adapun periode program yang diperuntukkan bagi pegawai tersebut berjalan sepanjang April hingga Juni 2021 senilai Rp 5.644.450.000.

“Patut diduga ada keterlibatan Oknum pejabat di BPSDM. Indikasi pemalsuan obat dan multivitamin terjadi karena tidak ada kesesuaian kode BPOM, jenis label, tidak ada tanggat kadaluarsa, merek dan bentuk kemasan. Praktek ini jelas tidak hanya merugikan kesehatan pegawai tapi juga merugikan keuangan negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis.