Upaya Agar Masyarakat yang Penghasilannya Kecil Punya Rumah di 2020
Rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah. (Foto: Kementerian PUPR)

Bagikan:

JAKARTA - Kebijakan dan program kemudahan atau bantuan pembiayaan perumahan yang telah ada dinilai belum menjawab tantangan tingginya kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) serta keterjangkauan daya beli MBR terhadap rumah subsidi yang rendah.

Tercatat hingga 2019 terdapat 11 Juta rumah tangga yang menghuni rumah tidak layak huni dan rumah tangga muda yang masih belum memiliki rumah. Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Eko D Heripoerwanto menyampaikan, saat ini pihaknya terus berupaya meningkatkan keterjangkauan kebutuhan rumah dengan menyiapkan berbagai kebijakan dan program kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan perumahan kepada MBR.

Beberapa program kemudahan bantuan pembiayaan perumahan yang saat ini telah berjalan antara lain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan (SBUM), dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).

“Sepanjang tahun 2015-2018, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  telah menyalurkan bantuan FLPP sebanyak 216.660 unit dan bantuan SSB sebanyak 558.848 unit. Pada tahun 2019, per 23 Desember 2019, penyaluran  bantuan FLPP sebanyak 77.564 unit dan bantuan SSB sebanyak 99.907 unit,” ungkapnya di Jakarta, 26 Desember.

Pada tahun 2020 mendatang, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk FLPP sebesar Rp11 triliun untuk memfasilitasi 102.500 unit rumah, SSB sebesar Rp3,8 miliar yang akan digunakan untuk pembayaran akad tahun-tahun sebelumnya, SBUM sebesar Rp600 miliar untuk memfasilitasi 150.000 unit rumah. Sedangkan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp13,4 miliar untuk memfasilitasi 312 unit rumah.

Target tersebut sebagaimana yang terjadi pada tahun ini, dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan pasar hingga maksimal kurang lebih sebanyak 50.000 unit. Hal ini dikarenakan BP2BT berasal dari PHLN yang kenaikan target output dan anggaran tidak memerlukan persetujuan DPR.

Sebagai informasi, Berdasarkan status 23 Desember 2019, saat ini terdapat 19 Asosiasi Pengembang Perumahan serta 13.618 Pengembang Perumahan yang telah terdaftar didalam Pengelolaan Sistem Informasi Registrasi Pengembang (SIRENG). SIRENG merupakan cikal bakal penerapan akreditasi dan registrasi asosiasi pengembang perumahan serta sertifikasi dan registrasi pengembang perumahan (ARSAP4) sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri PUPR Nomor 24/PRT/M/2018, dimana seluruh pengembang harus terakreditasi dan teregistrasi dan seluruh asosiasi pengembang harus tersertifikasi dan teregistrasi.

Pengamat properti, Panangian Simanungkalit mengatakan, kebutuhan dana untuk subsidi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) harus ditingkatkan agar target pemerintah dalam Program Sejuta Rumah (PSR) dapat tercapai.

Selain penambahan anggaran, kata dia, pemerintah juga diminta mempermudah birokrasi perizinan dan pengurusan pembiayaan perumahan bagi rumah bersubsidi.

"Saat ini, pengembang perumahan subsidi mulai menjerit setelah dana subsidi pemerintah berupa FLPP 2019 kuotanya telah habis. Dampak habisnya kuota membuat pengembang tidak bisa melakukan akad kredit pemilikan rumah (KPR)," kata Panangian dikutip dari Investor Daily.

Ketua DPD Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) DKI Jakarta, Aviv Mustaghfirin menuturkan, mayoritas pengembang, yakni 80% adalah pengembang rumah subsidi dan sudah mulai menjerit serta kebingungan karena kuota untuk rumah subsidi FLPP yang sudah habis. "Sedangkan solusinya belum jelas,” ujar Aviv.

Menurut Aviv, aturan rumah subsidi sudah sangat ketat dari pemerintah. Rumah yang di KPR kepada konsumen adalah yang sudah jadi dan siap digunakan. Saat ini, ketika sudah jadi dan sudah ada konsumen, gagal untuk akad KPR karena kuota habis.

“Padahal pengembang sudah mengeluarkan cashflow dananya untuk membangun, gaji pegawai, gaji kontraktor, dan juga beli tanah. Tetapi tiba- tiba tidak bisa di KPR karena tidak ada anggarannya. Tentu pengembang menjerit karena ini,” katanya.

Dia berharap, pemerintah baik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai pelaksana teknis dan juga Menteri Keuangan beserta perbankan untuk membantu pengembang serta mencari solusi. Hal itu agar para pengembang jangan berhenti di tengah jalan mengingat bila kelamaan para pengembang bisa menjerit karena kehabisan dana.