Bagikan:

JAKARTA - 38 negara dilaporkan sudah mendeteksi varian Omicron masuk. Namun kabar baiknya, penelitian awal bilang Omicron tidak lebih berbahaya dibanding varian Delta yang bikin porak-poranda dunia.

Varian Delta pertama kali ditemukan di India. Dalam waktu sekejab, varian ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Indonesia adalah salah satunya.

Karena varian ini juga diterbitkan aturan PPKM. Penyekatan terjadi di mana-mana. Tenaga kesehatan bertumbangan. Belum lagi kasus positif dan angka kematian yang mengerikan.

Lantas bagaimana dengan Omicron.

Dilansir dari Channel News Asia yang mengutip pemberitaan AFP, Selasa 7 Desember, Ilmuwan top AS Anthony Fauci menunjukkan Omicron tidak lebih buruk daripada jenis sebelumnya. Bahkan pakar penyakit menular ini bilang gejalanya bisa jadi lebih ringan.

Butuh waktu berminggu-minggu untuk para meneliti bisa mengambil kesimpulan menilai tingkat keparahan dari varian ini.

Kata kepala penasihat medis Presiden Joe Biden ini, varian ini memang sangat menular. Ini dilihat dari data epidemiologi seluruh dunia yang menunjukkan infeksi ulang lebih tinggi dengan Omicron.

"Soal tingkat keparahan, hampir pasti tidak lebih parah dari Delta," kata Fauci.

"Ada beberapa saran bahwa itu mungkin tidak terlalu parah, karena ketika Anda melihat beberapa kelompok yang diikuti di Afrika Selatan, rasio antara jumlah infeksi dan jumlah rawat inap tampaknya lebih sedikit dibandingkan dengan Delta," lanjut dia lagi.

Sebuah penelitian besar di Inggris tentang pencampuran vaksin COVID-19 telah menemukan, orang memiliki respons kekebalan yang lebih baik ketika mereka menerima dosis pertama suntikan vaksin COVID-19 lansiran AstraZeneca atau Pfizer diikuti oleh Moderna sembilan minggu kemudian, menurut hasil pada Hari Senin.

"Kami menemukan respons imun yang sangat baik di seluruh pengujuian, pada kenyataannya, lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh vaksin Oxford-AstraZeneca dua dosis," Matthew Snape, profesor Oxford di balik uji coba yang dijuluki Com-COV2.

Temuan yang mendukung pemberian dosis fleksibel akan memberikan harapan bagi negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah, yang mungkin perlu menggabungkan merek yang berbeda antara vaksin pertama dan kedua jika persediaan menipis atau menjadi tidak stabil.

"Saya pikir data dari penelitian ini akan sangat menarik dan berharga bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana mereka masih meluncurkan dua dosis vaksin pertama," jelas Snape.

"Kami menunjukkan, Anda tidak harus kaku untuk menerima vaksin yang sama untuk dosis kedua dan jika program akan disampaikan lebih cepat dengan menggunakan beberapa vaksin, maka tidak apa-apa untuk melakukannya," paparnya.