Bagikan:

JAKARTA - Menteri Luar Negeri Indonesia menekankan pentingnya peningkatan kemitraan global, untuk mencapai target vaksinasi global di akhir tahun seperti yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Berbicara dalam pertemuan virtual USAID Virtual Closed-Door Ministerial Meeting

yang dihadiri oleh Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Menlu Retno menyebut peningkatan kapasitas negara-negara berkembang penting untuk membantu mengatasi pandemi.

"Kemitraan itu penting untuk mencapai target vaksinasi 40% populasi tiap negara per akhir 2021 yang ditetapkan WHO. Saat ini kesenjangan vaksinasi global masih lebar, di mana negara berpenghasilan rendah hanya menerima 0,6 persen dari seluruh vaksin yang ada," jelasnya dalam keterangan Kementerian Luar Negeri RI, Selasa 7 Desember.

"Sebanyak 96 negara masih belum memenuhi target WHO untuk mencapai 40 persen vaksinasi penduduknya pada akhir 2021, padahal waktunya tinggal beberapa minggu lagi," sambung Menlu Retno.

Untuk jangka pendek, lanjut Menlu Retno, fokus utama yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana semua negara meningkatkan kerjasama untuk dapat memenuhi target WHO.

Menurutnya, terdapat dua hal yang dapat dilakukan guna mencapai hal tersebut. Pertama, percepatan akses global terhadap vaksin, termasuk dengan berbagi dosis.

Dosis yang diberikan harus memiliki masa kadaluarsa yang panjang dan terdapat timeline distribusi yang jelas.

Menlu Retno mengatakan, masih banyak yang belum diketahui mengenai varian Omicron. Untuk itu, hendaknya kebijakan negara-negara ke depan tidak semakin mempersulit upaya mencapai kesetaraan vaksin

"Kedua, penguatan kapasitas penyerapan di negara penerima. Banyak negara yang tidak memiliki sumber daya dan infrastruktur memadai untuk mendistribusikan vaksin kepada penduduknya," paparnya.

Untuk jangka panjang, Menlu Retno menekankan pentingnya penguatan keterlibatan negara berkembang dalam rantai pasok vaksin global. Hal ini dapat dilakukan dengan mendiversifikasi manufaktur vaksin global, membangun pusat produksi dan distribusi vaksin kawasan, memfasilitasi teknologi transfer dan meningkatkan akses terhadap bahan mentah vaksin.

Sementara itu, Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan, setahun setelah vaksin COVID-19 pertama disuntikkan, hingga saat ini negara-negara masih mengalami hambatan dalam mengubah vaksin menjadi vaksinasi.

Dikatakannya, COVAX telah memainkan peran penting dan saat ini telah mendistribusikan lebih dari 600 juta dosis ke 144 negara dan teritori. Dan dalam dua bulan terakhir, COVAX telah mendistribusikan vaksin dalam jumlah yang lebih besar dari total distribusi selama 8 bulan.

"Pentingnya transparansi dalam pendistribusian vaksin dengan memperhatikan masa kadaluarsa vaksin. Selain vaksinasi, terdapat kebutuhan peningkatan kapasitas testing, sequencing, serta ketersediaan oksigen dan obat-obatan," papar Dr. Tedros.

Untuk diketahui, pertemuan kali ini juga membahas bagaimana mempercepat program vaksinasi dan mentranformasi vaksin menjadi vaksinasi, khususnya di negara berkembang yang memiliki keterbatasan dalam kapasitas distribusi vaksin.

Dalam kesempatan pertemuan yang diselenggarakan oleh Pemerintah AS, negara-negara menyampaikan berbagai tantangan yang dihadapi, antara lain akses terhadap vaksin serta kebutuhan pembiayaan, kapasitas produksi, infrastruktur untuk distribusi, keahlian teknis, kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan.

Pertemuan ini merupakan pertemuan yang diselenggarakan Pemerintah AS sebagai tindak lanjut pertemuan Global COVID Summit yang dipimpin Presiden Joe Biden Bulan September 2021. Dan Covid-19 Foreign Ministerial Meeting bulan November 2021 yang digagas oleh Menlu Blinken ini, dihadiri sekitar 20 menteri dan 9 perwakilan organisasi internasional dari berbagai negara, termasuk di antaranya CEO GAVI, Presiden Bank Dunia dan Direktur Jenderal UNICEF.