KPK Sebut Masyarakat yang Tinggal di Sekitar Tambang Hidup Miskin
Gedung KPK (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengaku prihatin dengan praktik pemanfaatan sumber daya alam tapi tidak mau membayar pajak. Menurutnya, cara semacam ini membuat hak masyarakat di sekitar lokasi pertambangan hilang dan mereka justru hidup dalam keadaan susah.

Hal ini disampaikannya dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Kolaborasi Tinjauan Tata kelola Industri Pertambangan Nikel yang dihadiri stakeholder terkait di Ternate, Maluku Utara, Selasa, 9 November.

"Harapan kita SDA bisa menyejahterakan tapi dalam banyak kasus masyarakat yang tinggal di sekitar tambang eksplorasi selalu hidup dalam kemiskinan," kata Alexander dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Rabu, 10 November.

Atas alasan ini, KPK kemudian fokus pada sektor sumber daya alam yang dianggap punya potensi penyimpangan yang sangat besar. Selain itu, kata Alexander, titik lemah dalam rangka penyelamatan SDA di berbagai sektor adalah terkait dengan penegakan hukum mulai dari perpajakan, bea cukai, dan retribusi daerah.

"Ini fakta. Kita pahamlah semuanya. KPK hadir sebetulnya untuk memperkuat tupoksi semua, sepanjang kehadiran KPK dapat membuat pihak-pihak yang sering melakukan intervensi dapat merasa gentar," ungkapnya.

Lebih lanjut, Alexander mengajak semua pihak yang hadir agar bekerja sama memikirkan penyelamatan sumber daya alam. Dia meminta semua pihak memberikan informasi adanya tindak korupsi karena KPK tidak bisa hadir setiap saat di lapangan untuk memantau langsung di lapangan.

Sedangkan terkait pajak yang tidak dibayarkan, Alexander mengatakan sudah ribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang KPK dorong untuk dicabut karena melanggar ketentuan. "Kami mendorong keprihatinan ini untuk dapat kita carikan solusi bersama," tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Alexander juga memaparkan berbagai permasalahan dalam tata kelola nikel. Masalah pertama adalah tentang tidak konsistennya kebijakan peningkatan nilai tambah nikel, sehingga memberi insentif terjadinya ekspor illegal.

Kedua, tidak adanya indikator kinerja utama dalam pembangunan smelter mengakibatkan lemahnya sistem penilaian dan monitoring evaluasi. Masalah ketiga, lemahnya sistem verifikasi pengangkutan dan penjualan komoditas nikel karena dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) Badan Usaha tidak mencantumkan titik koordinat dan titik serah penjualan.

"Keempat, belum terintegrasi secara realtime sistem yang ada di internal Ditjen Minerba, maupun dengan sistem eksternal DJBC, Ditjen Anggaran, Ditjen Hubla, dan Ditjen Daglu," terang Alexander.

Selain itu, aktivitas pertambangan nikel juga belum mengindahkan prinsip good mining practices. Sehingga, masih ditemukan fakta kerusakan lingkungan di sekitar kawasan pertambangan.

"Oleh karena itu, saya berharap rakor hari ini dapat menjadi jalan perbaikan tata kelola dan efektifitas penegakan hukum di komoditas nikel Indonesia. Sehingga, amanat konstitusi untuk melakukan pengelolaan yang bermuara pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat terwujud," pungkasnya.