Bagikan:

JAKARTA - KPK menutup lokasi yang diduga menjadi tenaga kerja asing (TKA) melakukan kegiatan tambang emas secara ilegal di kawasan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dengan memasang plang peringatan.

Ketua Satuan Tugas Koordinator Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK Dian Patria mengatakan tujuan pemasangan plang di lokasi tersebut untuk mendorong penegakan aturan dalam persoalan tambang, khususnya yang berada di kawasan hutan.

"Jadi, kami di sini hadir mendampingi KLHK dan dinas LHK dan ESDM NTB agar mereka bisa menegakkan aturan," kata Dian Patria dikutip ANTARA, Jumat, 4 Oktober.

KPK mengingatkan pemerintah daerah untuk memperhatikan persoalan ini. Apabila ada aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan, apalagi yang berkaitan dengan tambang, dian memastikan hal tersebut dapat mengarah pada pelanggaran hukum.

"Jangan sampai aktivitas tambang ilegal ini ada unsur pidana yang mengarah ke korupsi, suap menyuap atau 'bekingan'. Kalau ada indikasi seperti itu, (masyarakat) harus segera laporkan," ujarnya.

Dari hasil permintaan keterangan dengan pihak pemerintah, KPK turut mempertanyakan adanya lahan seluas 98,16 hektare dari tambang emas ilegal tersebut masuk dalam kawasan izin usaha pertambangan (IUP) untuk PT Indotan.

"Kok bisa ada tambang ilegal, tapi yang punya IUP tak masalah. Cuman dikasih plang kecil, itu pun di bulan Agustus setelah bertahun-tahun," kata Dian.

KPK mencurigai pemasangan plang kecil oleh PT Indotan di kawasan IUP itu hanya modus untuk menghindari pajak ke pemerintah.

"Ini makanya, pemerintah jangan sampai dirugikan dan masyarakat terkena dampak dari kerusakan lingkungan akibat adanya konspirasi seperti ini," ujarnya.

Plang yang dipasang KPK itu terdapat logo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Pemprov NTB dan KPK.

Dalam plang tersebut tertulis setiap orang dilarang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin dalam bentuk apapun di dalam kawasan hutan Pelangan, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.

Bila melanggar maka terancam pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar sesuai yang diatur dalam Pasal 89 juncto Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.