Banyak Menteri di Luar Negeri yang Mundur Usai Ada Kecelakaan Maut, Sialnya Itu Bukan Budaya Kita

JAKARTA - Di beberapa negara banyak menteri yang mengundurkan diri setelah terjadi kecelakaan maut. Belum lama ini Menteri Perhubungan Taiwan yang memutuskan meletakkan jabatannya setelah terjadi kecelakaan maut kereta Taroko Express. Namun, kalau melihat di negara kita sendiri, hal seperti ini merupakan keniscayaan. Sebab, mundur dari jabatan karena gagal bertugas bukan budaya kita.

Sehari setelah tergelincirnya kereta Taroko Express di Hualien, Taiwan, pada 2 April, Menteri Transportasi dan Komunikasi Taiwan Lin Chia-lung tanpa basa-basi menyodorkan surat pengunduran diri. Memang insiden yang menewaskan setidaknya 49 orang dan 244 lain luka-luka tersebut menjadi yang terburuk di Taiwan.

Pengunduran diri Lin sempat ditolak Perdana Menteri Taiwan Su Tseng-chang. Musababnya, pemimpin kabinet Taiwan tersebut ingin Lin untuk fokus merestorasi layanan kereta api Taiwan terlebih dahulu. Lin menyanggupi. Ia juga bertekad akan bertanggung jawab secara politik atas kecelakaan maut itu.

Kecelakaan kereta di Taiwan. (Twitter/@Meharahmedkhan)

Lin dan Su setuju bahwa reformasi Administrasi Kereta Api Taiwan (TRA) diperlukan, seraya mengatasi masalah keselamatan dan tenaga kerja. Beberapa hari berselang, pada 15 April, barulah pengajuan resign Lin diterima.

"Sebelum saya pergi, saya akan memastikan bahwa operasi normal dan aman akan dilanjutkan di Hualien. Dan kementerian akan menerapkan mekanisme untuk berkoordinasi dan merawat keluarga korban," kata Lin dikutip Taipei Times.

Satu tahun sebelumnya atau lebih tepatnya pada 8 Mei 2020, aksi pengunduran diri pejabat tinggi negara juga terjadi di Kroasia. Menteri Pertahanan negara tersebut, Damir Krsticevic mundur dari jabatannya setelah sebuah pesawat angkatan udara jatuh di bagian barat daya Kroasia. Insiden tersebut menewaskan dua awak pesawat.

Dalam pengunduran dirinya, Krsticevic mengatakan "kita harus transparan dan bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut." "Saya hari ini mengundurkan diri dari peran Wakil Presiden dan Menteri Pertahanan Kroasia. Terima kasih," kata dia dikutip VOA News.

Tiga bulan kemudian pada 9 Agustus giliran Menteri Penerangan Lebanon Manal Abdul Samad yang mengundurkan diri dari jabatannya. Perempuan 45 tahun itu jadi menteri Lebanon pertama yang menyatakan mundur setelah tragedi ledakan di pelabuhan Beirut yang menewaskan lebih dari 150 orang dan melukai 6.000 lainnya.

"Setelah bencana besar Beirut, saya mengumumkan pengunduran diri saya dari pemerintah," kata Manal dilansir The Guardian. Ia juga mengumumkan permintaan maafnya kepada publik Lebanon karena sudah mengecewakan mereka.

Ketiga menteri tersebut mundur setelah mengalami insiden maut yang meregang nyawa. Semangat mereka sama: merasa telah mengecewakan rakyatnya terutama yang terkena dampak langsung dari kecelakaan yang mematikan tersebut. Namun aksi seperti ini sulit --kalau tak bisa dibilang mustahil-- kita temui di negara kita.

Bukan budaya kita

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai para menteri di luar yang mengundurkan diri tersebut tak lain karena merasa malu. Kalau mereka sudah merasa gagal dalam bertugas, kata Ujang, maka tak segan untuk mundur.

"Menteri di luar negeri, jika mereka gagal bertugas, maka dia merasa malu. Kemudian mengundurkan diri dari jabatannya," kata dia kepada VOI.

Sementara di Indonesia, budaya mundur seperti itu adalah sebuah keniscayaan. "Di kita tak ada budaya mundur. Itu bukan budaya kita. Makanya enggak maju-maju kita," sebut Ujang.

Kalau melihat yang sudah-sudah, kebanyakan menteri yang mundur dari jabatannya adalah karena tersandung kasus korupsi. Contohnya bisa dengan mudah kita sebut.

Tak lama setelah satu tahun pemerintahan Joko Widodo, pada 25 November 2020 mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mundur dari jabatannya setelah dicokok KPK. Politisi Gerindra itu ditangkap basah usai membelanjakan uang hasil suap dalam kunjungannya di Amerika Serikat.

Sembilan hari berselang, giliran menteri dari PDIP yang terpaksa mundur dari jabatan menteri. Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara resign dari kursi menteri setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana bantuan sosial COVID-19.

Bahkan menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin setelah ditangkap KPK pun masih menganggap dirinya tak bersalah. "Pejabat kita tak punya budaya malu. Sudah ditangkap KPK pun, masih menganggap dirinya tak bersalah."

Jangankan mundur karena ada kecelakaan maut. Saat maling uang rakyat saja, para pejabat tinggi negara kita yang tersandung kasus masih tebal muka.

Layak mundur

Kemarin, 8 September, Indonesia dirundung kabar duka. Kebakaran di Lapas Tangerang menewaskan 44 orang. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai dalam insiden ini negara harus bertanggung jawab. Sebab hal ini bukan kejadian biasa melainkan masalah menyangkut hak asasi manusia (HAM).

"Negara atau pemerintah harus bertanggung jawab terkait insiden kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang. Terlebih peristiwa itu menewaskan 44 orang," kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution Kamis, 9 September.

Lapas Tangerang (Sumber: ANTARA)

Maneger mengatakan pemerintah harus memastikan semua hak korban dan keluarganya harus terpenuhi. Selain itu, warga binaan di lapas tersebut yang mengalami luka juga harus dirawat sebagaimana mestinya.

Menurut Maneger kebakaran ini juga memperlihatkan realita di mana para tahanan dan warga binaan kerap ditempatkan di dalam rumah tahanan (rutan) maupun lapas berjubel yang tak ramah bagi kesehatan. "Bahkan mengancam keselamatan jiwa mereka."

Untuk itu, Maneger meminta negara hadir memenuhi hak setiap tahanan dan warga binaan untuk diperlakukan secara manusiawi. "Sehingga rutan dan lapas harus menyediakan tata ruang, penerangan, udara, dan ventilasi yang memadai."

Kita semua sepakat kalau insiden kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang meregang puluhan nyawa ini adalah masalah besar. Tata kelola lapas pun menjadi sorotan akibat kecelakaan ini. Dan menurut Pengamat Politik Ujang Komarudin, andai malu adalah budaya kita, bukan tidak mungkin pejabat tinggi negara kita yang gagal bertugas akan mundur. 

"Mestinya harus mundur kalau punya malu. Tapi kan enggak ada yang mundur. Karena mereka menganggap tak ada yang salah. Padahal itu merupakan kesalahan besar," tutup Ujang.

*Baca Informasi lain soal KECELAKAAN atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya