Tensi Konflik Myanmar Meningkat, Masyarakat Internasional Minta Pemerintah Bayangan dan Rezim Militer Menahan Diri
JAKARTA - Negara-negara Asia Tenggara dan Barat mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dari kekerasan dan mengizinkan bantuan kemanusiaan, setelah pemerintah bayangan, yang dibentuk oleh penentang kekuasaan militer, menyatakan pemberontakan nasional melawan junta.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) mengumumkan pada Hari Selasa, pihaknya meluncurkan 'perang defensif rakyat' dalam upaya untuk mengoordinasikan kelompok-kelompok yang memerangi militer, meyakinkan pasukan dan pejabat pemerintah untuk beralih pihak.
Sementara, seorang juru bicara rezim militer Myanmar menepis pernyataan itu, dan menilainya sebagai suatu upaya sia-sia untuk mendapatkan perhatian dunia.
Pasukan keamanan dikerahkan di kota terbesar Myanmar, Yangon, pada hari Rabu, sehari setelah protes dan peningkatan pertempuran antara tentara dan pemberontak etnis minoritas.
"Semua pihak harus memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar," terang juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah, seraya mencatat bahwa keamanan diperlukan agar bantuan kemanusiaan dapat berjalan, mengutip Reuters 8 September.
Indonesia telah memimpin di antara tetangga Myanmar di ASEAN, untuk mencoba menyelesaikan krisis yang dipicu ketika militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari.
Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Myanmar Pete Vowles di Facebook mengutuk kudeta dan apa yang disebutnya kebrutalan oleh rezim militer, mendesak semua pihak untuk terlibat dalam dialog.
Mengutip The Irrawaddy 7 September, hingga Sabtu pekan lalu, 1.046 warga sipil tewas sejak kudeta militer 1 Februari menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Sementara, 7.876 orang lainnya, termasuk para pemimpin pemerintahan terpilih, telah ditahan oleh junta atau menghadapi surat perintah penangkapan. Sekitar 6.230 orang masih ditahan, termasuk Penasihat Negara terguling Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint.
Sebagai respon, beberapa penentang junta telah membentuk kelompok-kelompok bersenjata di bawah panji Pasukan Pertahanan Rakyat. Mereka juga telah menjalin aliansi dengan tentara etnis minoritas yang lama berselisih dengan rezim militer Myanmar.
Protes besar terjadi di Sagaing, Magway dan Mandalay pada Hari Rabu, sementara media melaporkan pertempuran antara tentara dan pemberontak Kachin.
Tidak segera jelas apakah perkembangan itu sebagai tanggapan atas seruan NUG dan masih harus dilihat sejauh mana pemerintah bayangan dapat mempengaruhi jalannya peristiwa.
"Deklarasi NUG mendapat dukungan kuat di media sosial Myanmar," terang Richard Horsey, pakar Myanmar di International Crisis Group.
Namun dia mengatakan, tidak jelas apakah pasukan oposisi memiliki kapasitas untuk meningkatkan perang melawan militer Myanmar yang diperlengkapi dengan baik. Dan, deklarasi 'perang' NUG mungkin menjadi bumerang dengan mempersulit beberapa negara untuk mendukungnya.
Terpisah, Chris Sidoti dari Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, sebuah panel ahli internasional mengatakan, NUG frustrasi oleh kebrutalan junta dan kelambanan masyarakat internasional.
"Kekerasan adalah penyebab penderitaan rakyat Myanmar, itu bukan solusi. Kami berempati dengan NUG, tapi kami takut dengan apa yang akan terjadi akibat keputusan ini," paparnya.
Kementerian Pertahanan NUG pada Hari Rabu mengatakan 29 tentara tewas dalam bentrokan di empat wilayah dan jumlah yang tidak ditentukan telah membelot. Reuters tidak dapat memverifikasi informasi secara independen.
Sementara negara-negara Barat telah menjatuhkan sanksi untuk menekan junta, ASEAN telah memimpin upaya untuk solusi diplomatik, tetapi beberapa anggota blok tersebut, termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia, jengkel dengan tidak adanya kemajuan dalam rencana perdamaian. junta telah menyetujuinya.
"Sekarang dengan peristiwa terbaru, Anda benar-benar harus kembali ke papan gambar," terang Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah, dalam konferensi pers, merujuk pada seruan NUG untuk memberontak.
Akhir pekan lalu, Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar Erywan Yusof mengatakan, rezim militer Myanmar telah menerima usulannya mengenai gencatan senjata untuk memungkinkan distribusi bantuan. Tetapi, tidak ada pihak dalam konflik yang mengkonfirmasi hal ini.
"Utusan Khusus sedang memantau situasi dengan cermat," sebut kantornya saat dikonfirmasi mengenai tanggapan terkait pengumuman NUG.
Di Washington, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mencatat deklarasi 'perang defensif rakyat', menyerukan perdamaian untuk memungkinkan pengiriman bantuan dan obat-obatan, Radio Free Asia yang didanai Negeri Paman Sam melaporkan.
"Amerika Serikat tidak memaafkan kekerasan sebagai solusi untuk krisis saat ini," ujar juru bicara itu.
Baca juga:
- Pasukan Taliban Miliki Ciri Militer Didikan Barat, Ada Tentara Afghanistan yang Membelot?
- Umumkan Pemerintahan Tanpa Pejabat Perempuan, PBB: Taliban Kehilangan Kesempatan Penting
- Diplomat Afghanistan Sebut Dua Tokoh Oposisi Masih Berada di Panjshir, Lanjutkan Pelawanan Terhadap Taliban
- Qari Fasihuddin: Panglima Tentara Afghanistan Pilihan Taliban, Penakluk Utara yang Pertama Injak Panjshir
Sementara sebagian besar negara Barat mengutuk rezim militer karena menggulingkan pemerintah Suu Kyi, China, yang memiliki kepentingan ekonomi yang cukup besar di Myanmar, telah mengambil garis yang lebih lembut dalam mendorong stabilitas dan non-intervensi.
Surat kabar Global Times yang dikelola negara memperingatkan terhadap negara-negara Barat yang mendukung pasukan anti-junta secara militer.
"Jika bentrokan bersenjata dimanjakan dan aksi ekstremis politik didorong, maka negara akan diganggu oleh pertempuran dan masalah tanpa akhir," sebut surat kabar itu dalam sebuah opini.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.