Bagikan:

JAKARTA - Sedikitnya 20 warga sipil yang bersenjatakan ketapel dan panah, tewas dalam bentrokan dengan rezim militer Myanmar saat melakukan sweeping, Sabtu 5 Juni.

Bentrokan pecah sebelum fajar pada Hari Sabtu di Hlayswe, sekitar 150 km (100 mil) barat laut kota utama Yangon, ketika tentara melakukan sweeping dan mencari senjata sebut sejumlah media lokal. 

"Masyarakat di desa hanya memiliki panah dan banyak korban di pihak masyarakat," kata warga yang meminta tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan, seperti melansir Reuters Sabtu 5 Juni. 

Khit Thit Media dan Delta News Agency mengatakan 20 warga sipil tewas dan lebih banyak lagi yang terluka. Mereka mengatakan, penduduk desa melawan rezim militer Myanmar, lantaran aksi represif saat melakukan sweeping. 

Korban tewas pada Hari Sabtu menjadi angka yang tertinggi sejak tragedi Bago pada April lalu, di mana sekitar 80 warga sipil tewas dalam bentrokan dengan rezim militer Myanmar. Ini akan menambah jumlah korban jiwa sejak kudeta 1 Februari. Data Asosiasi Bantuan Hukum untuk Tahanan Politik (AAPP) Kamis 3 Juni, sedikitnya 845 warga sipil dan 4.509 orang masih ditahan oleh rezim militer Myanmar.

Perlawanan terhadap rezim militer terus meningkat di wilayah-wilayah perbatasan dan pedalaman Myanmar. Pasukan Pertahanan Rakyat Shwegu anti-junta mengatakan telah menyerang sebuah kantor polisi di Shwegu utara pada Jumat malam bersama dengan etnis bersenjata Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA). Reuters tidak dapat menghubungi KIA untuk memberikan komentar.

Di Myanmar timur, MBPDF (Pasukan Pertahanan Rakyat Mobye) mengatakan berhasil menewaskan empat tentara Myanamr dalam bentrok bersenjata di Hari Jumat

Terlepas dari gejolak tersebut, tentara Myanmar tidak menunjukkan tanda-tanda mengindahkan seruan internasional untuk mengakhir konflik. Minggu ini, Pemimpim Rezim Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing menerima kunjunan Palang Merah Internasional dan perwakilan utusan ASEAN.

Terpisah, Utusan Khusus untuk Myanmar, sekelompok pakar internasional independen, mengatakan sangat penting bahwa utusan ASEAN juga bertemu dengan para pemimpin protes, anggota Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar, anggota parlemen terpilih dan partai Suu Kyi.

"Kegagalan untuk bertemu dengan semua pihak terkait berisiko memberikan legitimasi kepada junta dan merusak upaya dan pengorbanan besar yang dilakukan oleh rakyat Myanmar untuk melawan upaya kekerasan dan melanggar hukum junta untuk merebut kekuasaan," sebut Utusan Khusus untuk Myanmar dalam pernyataannya. 

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.