Tolak Tekanan Internasional, Rezim Militer Tetap Larang Utusan Khusus ASEAN Temui Aung San Suu Kyi
ASEAN Leaders Meeting di Jakarta, Indonesia . (Wikimedia Commons/Kementerian Luar Negeri Indonesia)

Bagikan:

JAKARTA - Rezim militer Myanmar mempertahankan keputusannya menolak memberikan akses terhadap utusan khusus ASEAN, untuk menemui pemimpin Aung San Suu Kyi yang tengah ditahan, Hari Rabu.

Selain itu, rezim militer juga menolak tekanan internasional yang kian meningkat, untuk mematuhi rencana perdamaian regional yang disepakati dalam pertemuan pada Bulan April.

Wakil Senior Jenderal Soe Win, komandan kedua junta yang merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada kudeta 1 Februari mengatakan, mengizinkan orang asing mengakses seseorang yang didakwa melakukan kejahatan bertentangan dengan hukum domestik.

"Saya percaya, tidak ada negara yang akan mengizinkan siapa pun untuk melakukan di luar hukum yang ada seperti ini," katanya dalam pidato yang dipublikasikan di media pemerintah, mengutip Reuters 3 November.

Pernyataannya mengikuti pertemuan puncak pemimpin Asia yang di selenggarakan secara virtual oleh ASEAN yang tidak dihadiri Myanmar, sebagai protes atas pengecualian terhadap pemimpin rezim militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing, karena tidak menghormati kesepakatan damai.

Situasi yang dinilai Myanmar sebagai pelanggaran kode konsensus ASEAN dan prinsip non-intervensi, menolak untuk mengirim perwakilan junior dalam pertemuan tersebut.

Soe Win menolak tuduhan ketidakpatuhan dan mengatakan, perjanjian April dengan ASEAN bergantung padanya mengingat 'urusan internal Myanmar saat ini', dengan akses utusan ke negara itu 'berdasarkan stabilitas internal'.

Bantahan Soe Win disampaikan dalam rapat virtual auditor ASEAN, Selasa. Dia mengatakan, tuntutan Myanmar yang dibuat pada KTT Asia pekan lalu, lantaran ditemukan kecurigaan pelanggaran terhadap citra solidaritas ASEAN.

Untuk diketahui, Myanmar telah dilumpuhkan oleh protes, pemogokan dan kekerasan sejak kudeta, dengan rezim militer berjuang untuk memerintah dan menghadapi perlawanan bersenjata dari milisi dan pemberontak etnis minoritas yang bersekutu dengan pemerintah bayangan yang disebutnya "teroris".

Lebih dari 1.200 warga sipil telah dibunuh oleh pasukan keamanan, menurut kelompok pemantau lokal yang dikutip oleh PBB, yang dituduh junta militer sebagai bias.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.