JAKARTA - Indonesia baru saja ditinggalkan oleh salah satu analis bisnis handal seiring dengan kabar duka dari Christianto Wibisono. Sosok senior yang berperan penting dalam pendirian media Tempo itu telah berpulang menghadap Sang Khalik pada Kamis, 22 Juli kemarin.
Bagi sebagian masyarakat awam, sosok Christianto Wibisono mungkin cukup awam. Namun bagi kalangan birokrat dan pebisnis sejati, Christianto bukan pribadi sembarangan.
Pria yang terlahir dengan nama Oey Kian Kok di Semarang, 10 April 1045 itu merupakan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) empat dasawarsa silam.
Jauh sebelum itu, dia memulai karirnya pada 1966 sebagai seorang penulis di Harian KAMI ketika masih berstatus mahasiswa.
Lima tahun berselang, Christianto kemudian berinisiatif membentuk sebuah entitas media yang lebih profesional dengan nama Ekspres. Surat kabar mingguan itu dia dirikan bersama tokoh pers kawakan Gunawan Muhammad. Dari Ekspres itulah kemudian menjadi cikal-bakal Tempo yang hadir hari ini.
Kegemarannya menulis membawa Christianto kembali ke lingkungan kampus. Pada 1974 dia lalu memutuskan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang strata 2 di Universitas Indonesia dengan konsentrasi di Fakultas Ilmu Politik. Empat tahun berselang pendidikannya selesai.
Bak gayung bersambut, pada 1978 dia mendapat amanah sebagai asisten khusus Wakil Presiden Adam Malik untuk urusan north-south (utara-selatan). Kepiawaian Christianto dalam dinamika perpolitikan global, khususnya barat, membuat pemerintah kala itu membutuhkan tenaganya untuk mensukseskan sejumlah agenda diplomasi.
Memang, pada medio 70-an stigma north-south cukup kental lantaran menggambarkan komposisi negara maju yang berada di utara dan negara berkembang yang ada di belahan selatan bumi.
Lebih lanjut, posisi asisten Wapres yang diemban Christianto juga bertujuan membantu tugas Adam Malik yang saat itu dipercaya Kanselir Jerman Willy Brandt menjadi anggota Dialog Utara-Selatan.
Berlanjut ke era 90-an, Christianto disebutkan menjadi salah satu pihak yang ‘terdampak’ atas perubahan rezim di negeri ini, tepatnya ketika terjadi reformasi 1998.
BACA JUGA:
Waktu itu, rumah putrinya Jasmine Wibisono di Pantai Indah Kapuk menjadi salah satu yang mengalami pengrusakan oleh massa. Atas kejadian tersebut dirinya bersama keluarga kemudian memutuskan untuk hijrah dari Tanah Air.
Selanjutnya, Christianto dikabarkan menetap di Amerika Serikat (AS). Dalam fase ini, semangat diplomasi dia belum pudar.
Christianto bahkan disebut-sebut sebagai orang yang berpengaruh penting untuk memuluskan kepentingan Indonesia atas AS. Dalam kesehariannya, dia memantau percaturan diplomasi global di Kongres Amerika Serikat. Label sebagai lobbyist kepentingan Indonesia di Washington DC akhirnya tidak bisa lepas dari dirinya kala itu.
Memasuki era pascareformasi, sosok jurnalis ini sempat dikabarkan ingin ditarik menjadi pembantu Presiden Abdurrahman Wahid sebagai menteri di kabinetnya. Namun, hal tersebut urung dilakukan.
Pengalaman dan jaringan yang dimiliki oleh Christianto ternyata masih dibutuhkan oleh negara beberapa tahun berselang. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pertama, Christianto ditugaskan masuk dalam untuk masuk dalam tim Komite Ekonomi Nasional periode 2007-2010 yang langsung dibawahi oleh kepala negara.
Melalui segudang pengalaman dan kontribusi kepada bangsa, kepergiannya jelas merupakan kehilangan yang mendalam. Selamat jalan Pak Christianto Wibisono.