JAKARTA - Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono dikabarkan tutup usai pada Kamis, 22 Juli 2022 sembari memegang buku Wawancara Imajiner dengan Bung Karno. Hal tersebut diungkapkan langsung oleh sang putri, Astri Wibisono.
“Beliau memegang buku kesayangannya Wawancara Imajiner Bung Karno saat pergi (meninggal),” ujar Astri dikutip Jumat, 23 Juli.
Untuk diketahui, buku tersebut memang ditulis langsung oleh Christianto Wibisono dengan catatan terbit pertama pada 1977.
Buku ini memiliki garis besar cerita tentang wawancara khayalan (imajiner) Christianto dengan Presiden Pertama RI Soekarno atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno.
Dalam tulisannya, Christianto menggambarkan terdapat enam karakter presiden yang pantas menjadi pemimpin di negara ini dari hasil wawancara imajinernya dengan Bung Karno, yaitu tegas, cerdas, bersih, bisa membuat kebijakan logis, taat pada ketentuan politik, dan juga mematuhi hukum.
Pemikiran inilah yang kemudian dianggap banyak pihak masih tetap relevan hingga kini dalam menentukan pemimpin bangsa. Padahal, perkara tersebut telah dia utarakan hampir lima puluh tahun yang lalu.
Dalam tulisannya, Christianto coba menampilkan gaya komunikasi emosional dan interaksi intelektual dengan Bung Karno. Untuk itu diangkat sejumlah isu yang relevan, seperti kondisi geopolitik.
Menurut penulis, revolusi yang bersifat demokratis akan terus terjadi sejalan dengan percepatan pembangunan yang manusia. Akan tetapi rezim otoriter dipercaya akan tetap ada meskipun dalam konteks yang berbeda-beda.
Dari sini, kemudian didapat titik temu dalam bentuk Pancasila yang mengharamkan fasisme militer dan juga kediktatoran komunisme. Kodrat individu mutlak dihormati tetapi harus sesuai dengan haluan negara.
BACA JUGA:
Ada bagian yang cukup menarik dalam buku ini, yaitu ketika Christianto menanyakan soal Rapat Kerja di Istana Tampaksiring, Bali kepada Bung Karno. Sang Proklamator lantas menjawab kinerja Indonesia yang sekarang disebut sebagai satu dari Troika Asia, sebagai negara autopilot.
Dalam perkembangannya, buku ini sempat dibredel oleh Soeharto menjelang Sidang Umum MPR di Jakarta pada Maret 1978. Tidak hanya itu, penguasa juga memperlakukan hal yang sama kepada Buku Putih Mahasiswa dan tujuh surat kabar termasuk Kompas.
“Negara dan pasar harus dikelola secara pas reaksi kimianya. Kalau negara menjadi predator yang mencekik, sama saja seperti Uni Soviet yang bisa mengirim Sputnik ke ruang angkasa tapi gagal menyediakan sembako di supermarket. Tapi, kalau keserakahan pasar dibiarkan, terjadilah kegagalan pasar seperti krisis depresi dunia akibat bangkrutnya Wall Street pada 1930,” tulis Christianto dalam bukunya.