Indonesia Raya Tak Layak jadi Lagu Kebangsaan, Kata Belanda

JAKARTA - Banyak cerita soal lagu Indonesia Raya. Sejak Kongres Pemuda II, lagu gubahan Wage Rudolf (WR) Soepratman jadi bentuk perlawanan terhadap Belanda. Amat diagungkan. Namun tidak bagi Belanda. Indonesia Raya tak berbahaya katanya. Belanda bahkan berkali-kali merendahkan Indonesia Raya dengan menyebutnya tak layak jadi lagu kebangsaan.

Jiwa pergerakan dalam darah WR Soepratman tak perlu diragukan lagi. Ia adalah paket lengkap pejuang kemerdekaan. Soepratman pernah jadi jurnalis yang mengobarkan semangat anti-kolonialisme dari kantor berita Alpena dan kantor berita Tionghoa-Melayu, Sin Po.

Di sisi lain Soepratman adalah musisi mumpuni yang dapat menjadikan musik sebagai alat melawan. Oleh sebab itu, Soepratman kental dikenal sebagai pemuda yang menggelorakan kemerdekaan dengan dua alat: pena dan biola. Perjuangan Soepratman lewat lajur musik dimulai sejak ia tak sengaja membaca tantangan dari majalah terbitan Solo (Jawa Tengah), Timboel.

Majalah itu menantang komponis bumiputra untuk menciptakan lagu kebangsaan. Iklan itu memantapkan hati Soepratman. Sudah jadi tekadnya sejak lama menyumbang sesuatu yang berharga bagi perjuangan bangsa. Kebetulan lagu kebangsaan yang jadi mediumnya.

“Alangkah baiknya kalau ada seorang pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Sebab, lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaan masing-masing,” tulis tantangan di majalah Timboel dikutip Anthony C. Hutabarat dalam buku Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Wage Rudolf Soepratman (2001).

Soepratman kemudian mengalokasikan banyak waktunya untuk menggubah lagu kebangsaan. Pucuk dicinta ulam tiba. Lahirlah lagu Indonesia Raya pada pertengahan 1928. Rencananya Soepratman akan memperkenalkan lagu tersebut pada 28 Oktober 1928 di Kongres Pemuda II yang berlokasi di Clubgebouw, Jalan Kramat 106, Batavia.

Setelahnya, di sela-sela kongres, Soepratman mendekati Sugondo Djojopuspito yang memimpin acara. Soepratman mengutarakan niatnya sembari menyodorkan secarik kertas berisi notasi dan syair lagu Indonesia Raya. Seperti yang banyak diceritakan, Sugondo memberikan izin.

Peserta Kongres Pemuda II (Sumber: Commons Wikimedia)

Akan tetapi syair lagu Indonesia Raya dianggap terlalu provokatif. Banyak frasa yang dikhawatirkan memancing polisi Hindia-Belanda membubarkan acara kongres. Supaya aman, Sugondo segera mendatangi penasihat urusan bumiputra, Dr. Ch.D van der Plas. Upaya itu berhasil.

Van der Plas tak keberatan lagu tersebut dimainkan. Asalkan tanpa syair. Sugondo memberikan informasi menggembirakan itu pada Soepratman. Ia pun sepakat memainkan lagu tanpa syair. Karena itu, sebelum ikrar satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa, yaitu Indonesia, Soepratman maju untuk memainkan lagu ciptaannya.

“Sejenak ia tegap berdiri menanti hilangnya suara tepuk tangan. Setelah suasana hening, mulailah ia memperlihatkan kebolehannya dalam bermain biola membawakan lagu ciptaannya. Selama kurang lebih lima menit alunan irama biolanya dengan penuh pesona memukau perhatian para hadirin.”

“Lalu sambil senyum ia membungkuk memberi hormat kepada publik yang menyambutnya dengan tepuk tangan gemuruh. Sebagian ada yang méngiringi dengan suitan, sebagian lagi mengiringi dengan pekikan yang meminta agar diulang. Dengan penuh rasa haru karena telah diberi kehormatan untuk memperdengarkan lagu ciptaan yang diharapkan akan dapat menjadi lagu kebangsaan pada saat yang bersejarah,” tulis Bambang Sularto dalam buku Wage Rudolf Soepratman (2012).

Indonesia Raya dianggap remeh

Narasi bahwa Belanda terganggu dengan gubahan Indonesia Raya sebetulnya tak terjadi. Jurnalis senior sekaligus sejarawan, Rosihan Anwar mengungkap Van der Plas sendiri tak menemukan sesuatu yang istimewa terkait lagu Indonesia Raya di Kongres Pemuda II.

Lebih lagi, pihak polisi tidak memandang lagu tersebut secara politis berbahaya bagi eksistensi Belanda. Van der Plas bahkan menyebut Indonesia Raya sebagai lagu dengan melodi yang dangkal (banal).

Tak hanya Van der Plas. Komisaris besar polisi Batavia, J.M. Feuerstein juga ikut mengizinkan lagu Indonesia Raya dimainkan saat Kongres Pemuda II. Atas seizinnya, syair beserta lagu dapat dimainkan tanpa gangguan.

Karena itu, tidak ada suatu keberatan ketika lagu itu mulanya dimainkan dengan biola dan gitar. Pada masa itu izin menyanyikan Indonesia Raya itu jadi awalan lagu tersebut diperdengarkan di depan umum untuk kali pertama.

WR Soepratman (Sumber: Commons Wikimedia)

Sekalipun ada ketakutan dari polisi Belanda, lagu tersebut hanya dianggap tidak cocok diperdengarkan pada rapat-rapat dengan peserta di bawah usia 18 tahun. Selebihnya, tidak ada.

“Seusai kongres, tatkala polisi mempelajari kata-kata lagu itu, barulah diketahuinya lagu tersebut mengandung tujuan politik. Maka menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ dianggap tidak cocok untuk rapat-rapat di mana hadir orang berusia di bawah 18 tahun, kata komisaris polisi Belanda itu.”

“Memang ketika lagu ‘Indonesia Raya’ diperkenalkan pertama kali di Kramat No. 106, Jakarta, tahun 1928 itu, putri Haji Agus Salim bernama Dolly ikut menyanyikan lagu tersebut. Juga hadir pada peristiwa bersejarah itu seorang gadis Minahasa yang kelak dikenal sebagai psikiater, Ny. Yos Masdani,” ujar Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004).

Lirik lagu Indonesia Raya (Sumber: Commons Wikimedia)

Lagu Indonesia Raya tak saja mendapatkan banyak dukungan dari kalangan kaum bumiputra. Penolakan juga tak sedikit. Termasuk dari pejabat bumiputra regent (Bupati) Batavia, R.T. Achmad. Menurutnya lagu Indonesia Raya tak bagus dinyanyikan tanpa iringan musik.

Pendapat lain dari kalangan mahasiswa di Batavia menyebut Indonesia Raya terdengar hambar. Tak memiliki kekuatan. Yang paling keras muncul dari salah seorang pelajar sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS). Lagu keroncong dikatakan lebih bagus dibanding Indonesia Raya.

“Betapa salahnya penilaian pegawai Inlander tadi telah dibuktikan oleh sejarah. Ternyata lagu ‘Indonesia Raya’ diterima sebagai lagu kebangsaan dan dinyanyikan oleh putra-putri Indonesia. Karena dalam sistem kolonial pegawai Inlander harus mengambil muka terhadap bosnya yang bule, dan dapat dimengerti apabila (sekelas) Patih Batavia bernama Raden Kandoeroean Wirahadikoesoema dalam laporannya kepada komisaris besar polisi Batavia mengungkap lagu tersebut pada hematnya mempunyai tujuan politik, jadi tidak cocok untuk publik di mana anak-anak akan menyanyikannya,” tutup Rosihan Anwar.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya