Ombudsman: Munculnya Klausul TWK Pegawai KPK Bentuk Penyisipan Ayat dalam Perkom
JAKARTA - Ombudsman RI menemukan adanya penyisipan aturan, penyimpangan prosedur hingga penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan aturan untuk menggelar Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status kepegawaian.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan dalam proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dimulai sejak Agustus 2020 belum ada klausul pelaksanaan TWK.
Klausul ini baru muncul pada 25 Januari 2021 atau sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir.
"Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat. Pemunculan ayat baru dan itu munculnya di bulan-bulan terakhir proses ini," kata Robert dalam konferensi pers penyampaian hasil akhir pemeriksaan aduan pegawai KPK yang ditayangkan secara daring, Rabu, 21 Juli.
Ombudsman juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1 Tahun 2021 terutama saat rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021. Dalam rapat tersebut yang hadir sekadar jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga seperti Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham, dan MenPANRB.
Padahal, Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018 menyebut harmonisasi harusnya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrasti, dan panja.
"Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa," ungkap Robert.
Meski begitu, Berita Acara Rapat Harmonisasi itu justru ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.
Baca juga:
Dari fakta tersebut telah terjadi penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang. "Kehadiran Pimpinan dan kemudian yang seharusnya dikoordiansikan Dirjen tentu tidak terlaksana, karena Dirjen tidak mungkin memimpin harmonisasi yang pesertanya adalah atasannya dan penyalahgunaan wewenang karena tanda tangan justru dilakukan oleh yang tidak hadir, yakni Kabiro Hukum dan Direktur pengundangan," jelasnya.
Ombudsman juga menyatakan terjadi penyimpangan prosedur karena KPK tidak menyebarluaskan setelah dilakukan proses perubahan enam kali rapat. Padahal, Peraturan KPK Nomor 12 Tahun 2018 menyatakan penyelarasan produk hukum peraturan wajib memperhatikan aspirasi atau pendapat pegawai KPK.
Robert menatakan, penyebarluasan informasi Perkom Nomor 1 Tahun 2021 adalah pada 16 November 2020 atau saat tahap awal. Sementara hasil lainnya tidak pernah disebarluaskan melalui portal internal KPK.
"Dengan demikian tidak ada mekanisme pagawai KPK untuk mengetahui apalagi menyampaikan pendapat, Mungkin dari gossip atau informal tahu, tapi tidak resmi dan tidak ditempatkan di portal internal KPK selama proses yang sangat penting. Tidak ada kesempatan," pungkasnya.