Konsumsi Rumah Tangga, 'Lagu Lama' yang Jadi Indikator Penentu Indonesia Bisa Lepas dari Kontraksi Ekonomi
JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2021 masih berada pada zona negatif yaitu 0,74 persen. Hal ini menunjukkan Indonesia masih belum keluar dari resesi ekonomi. Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan salah satu faktor penentu Indonesia bisa keluar dari situasi tersebut adalah konsumsi rumah tangga.
"Konsumsi rumah tangga menjadi faktor penentu mengapa kita masih kontraksi dan ini satu tanda tanya kita yang besar, kenapa konsumsi rumah tangga masih kontraksi minus 2,23 persen," tuturnya dalam diskusi virtual, dikutip Kamis, 6 Mei.
Menurut Tauhid, jika dilihat berdasarkan komponennya kontraksi terjadi pada sektor makanan dan minuman di luar restoran. Kondisinya bahkan lebih buruk dari kuartal IV tahun lalu. Sementara, untuk pakaian, alas kaki dan lainnya sebenarnya sudah jauh lebih baik dibanding kuartal sebelumnya.
"Artinya bahwa terjadi pengurangan konsumsi rumah tangga untuk kebutuhan makanan dan minuman. Ini kalau kita lihat dari distribusinya sebenarnya makanan dan minuman dari konsumsi rumah tangga itu 50 persen sendiri, jadi artinya di atas 50 persen. Ketika itu terjadi pengurangan dibanding kuartal IV 2020, kita mempunyai problem dalam konsumsi rumah tangga," tuturnya.
Padahal, kata Tauhid, di kuartal I tahun 2020 bantuan pemerintah melalui program perlindungan sosial itu sampai bulan April 2021 itu hampir 31 persen. Bahkan anggaran yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp47 triliun. Program ini mendapat anggaran paling besar dibandingkan program pemulihan ekonomi lainnya.
"Jadi kalau pemerintah selama ini meyakinkan kita bahwa PEN ini berjalan efektif, tapi kalau kita lihat nyatanya bahwa konsumsi rumah tangga masih kontraksi dan makanan dan minuman bertambah buruk. Maka patut dipertanyakan PEN untuk perlindungan sosial tidak cukup baik mendorong konsumsi, bahkan untuk kebutuhan pokok makanan dan minuman selain restoran di kuartal I tahun 2021," jelasnya.
Tauhid tak menampik memang ada perbaikan. Tetapi, dia menekankan bahwa makanan dan minuman tidak boleh negatif. Namun, kondisi saat ini malah bertambah buruk dibandingkan kuartal IV tahun 2020.
Baca juga:
- Ramalan Ekonom Ini jadi Kenyataan: RI Tumbuh Minus di Kuartal I 2021 Terbukti!
- PNS Masih Ngeluh THR Tidak Full, Mendagri Tito: Harus Bersyukur dan Berterima Kasih kepada Sri Mulyani dan Pak Jokowi
- Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Minus 0,74 Persen di Kuartal I 2021, Konsumsi Rumah Tangga Masih Loyo!
- Usai Jokowi dan Sri Mulyani, BPS Ikut ‘Teriaki’ Pemda untuk Segera Belanjakan APBD
Penyebab konsumsi rumah tangga rendah
Menurut Tauhid, penyebab konsumsi rumah tangga rendah adalah daya beli yang rendah. Bahkan, jauh lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi COVID-19. Di mana sebelum COVID-19 pada bulan Maret 2020 masih mencapai 2,6 bahkan hampir 3 inflasi.
"Ini salah satu indikator mengukur daya beli. Tapi sekarang bahkan jauh lebih buruk sampai triwulan I. Rata-rata di bawah 1,5 persen. Artinya apa? Permintaan barang dan jasa tertekan karena daya beli rendah sehingga konsumsi masyarakat rendah," ucapnya.
Meskipun ada perbaikan di bulan Maret, kata Tauhid, tetapi secara umum konsumen masih pesimis dan belum normal hal ini dilihat dari indeks keyakinan konsumen. Menurut Tauhid, wajar jika konsumsinya masih rendah, karena konsumen belum percaya untuk berbelanja.
"Berarti beberapa insentif perlu dipertanyakan terutama untuk kelompok menengah ke atas karena tidak mendorong konsumsi jauh lebih tinggi. Terutama sejak beberapa kebijakan pembebasan PPnBM selama tiga bulan di awal tahun kemarin," ujarnya.