Sri Mulyani Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Kuartal III Minus 2,9 Persen, Resesi?
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III berada di kisaran minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen. Namun, prediksi ini kembali direvisi per September menjadi minus 2,9 persen hingga minus 1,0 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, perkembangan kasus COVID-19 mempengaruhi aktivitas ekonomi dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Yang terbaru per September 2020 ini minus 2,9 persen sampai minus 1,0 persen. Ini artinya negative territory terjadi pada kuartal III dan kemungkinan masih berlangsung pada kuartal IV yang kita berusaha mendekati nol atau positif," ujarnya, konferensi pers APBN Kita, Selasa, 22 September.

Dalam ilmu ekonomi, suatu negara bisa disebut mengalami resesi jika ekonominya minus dalam dua kuartal berturut-turut. Penentu Indonesia masuk atau tidak dalam jurang resesi ada di kuartal III tahun ini. Jika prediksi Sri Mulyani terjadi, maka Indonesia resmi resesi menyusul Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat.

Sri menjelaskan, dari sisi permintaan di kuartal III 2020 konsumsi rumah tangga masih diperkirakan pada zona kontraksi yaitu minus 3 persen hingga minus 1,5 persen dengan total outlook 2020 konsumsi Indonesia berarti pada kisaran kontraksi minus 2,1 persen hingga minus 1 persen.

"Untuk konsumsi pemerintah di kuartal ketiga karena akselerasi belanja yang luar biasa mengalami positif sangat tinggi hingga 17 persen. Keseluruhan tahun 0,6 persen hingga 4,8 persen untuk konsum pemerintah jadi pemerintah sudah all out melalui kebijakan belanja atau ekspasnsi belanja untuk countercyclical," jelasnya.

Sementara itu, investasi masih dalam posisi cukup berat minus 8,5 persen hingga minus 6,6 persen dan keseluruhan tahun 2020 investasi masih diperkirakan minus 5,6 persen hingga minus 4,4 persen.

"Ekspor kita lebih landai keseluruahn kuartal ketiga masih minus 13,9 persen. Impor masih kontraksi sangat dalam dan untuk keseluruhan tahun impor kita lebih dalam dari ekspor," katanya.

Sri mengatakan, neraca pembayaran dan neraca perdagangan masih surplus tapi karena kontraksi impor, sehingga belum menunjukan suatu pemulihan. Artinya masih sangat rapuh.

"Keseluruhan tahun minus 1,7 hingga minus 0,6 persen. Kontribusi negatif terbesar investasi, konsumsi dan ekspor," jelasnya.