Bagikan:

JAKARTA - Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) No.108/KM.6/2020 Tanggal 27 Mei 2020 Tentang "Penetapan Perpanjangan Pencegahan Bepergian Ke Luar Wilayah Republik Indonesia  kepada Ketua Konsorsium Mitra Penyelenggara Sea Games XIX Tahun 1997, Bambang Trihatmodjo terus dilawan.   

Pengamat Ekonomi & Politik Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN), Sasmito Hadinagoro menduga keputusan itu sebagai bentuk pengalihan isu terhadap sejumlah kasus skandal keuangan negara yang terjadi selama ini.

"Saya mensinyalir, ini untuk mengalihkan isu-isu besar kerugian keuangan negara yang secara kasat mata jelas belum kedaluwarsa. Misalnya, kasus mega skandal korupsi bailout illegal Bank Century Rp7,9 triliun yang patut diduga ada peran Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) waktu itu, Sri Mulyani," ujar Sasmito dalam keterangan yang diterima Senin 21 September.

Menurutnya, peran Ketua KSSK dalam kasus bailout Bank Century sebenarnya tidak dapat dikesampingkan. Pasalnya, Ketua KSSK patut diduga sebagai komandannya bail out illegal atau aktor intelektual.    

Karena itu,  Ketua KSSK pada waktu itu wajib diminta pertanggunjawaban secara hukum.   

"Jadi, peran dia (Menkeu) bukan hanya beri talangan kepada bankir nakal tetapi memberi bail out illegal bertriliunan rupiah dengan memakai dana dana publik (APBN) tanpa penuntasan penegakan hukumnya. Jadi, mumpung belum kedaluwarsa, apakah Menkeu tidak bisa introspeksi diri?,” jelasnya.

Sasmito pun menantang pemerintah untuk tidak mendiskriminasi warga negara. Karena itu, dia meminta Menkeu untuk mengungkap secara terbuka ke publik siapa saja pengutang negara ini.   

Hal ini penting agar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) benar-benar terpenuhi.

"Jangan tebang pilih. Pencekalan pak Bambang saja yang diungkap ke publik. Padahal banyak pengutang negara yang lainnya. Mestinya, para pengemplang uang negara wajib hukumnya diungkap ke publik dong," tuturnya.

Sasmito mengaku heran dengan sikap Menkeu yang mempersoalkan dana talangan Rp35 miliar yang diberikan kepada Konsorsium penyelenggar pesta SEA Games XIX- 1997 lalu. Padahal dana talangan ini diberikan kepada Konsorsium lantaran biaya penyelenggaraan SEA Games tidak tercantum dalam APBN.

Perlu diketahui, pelaksanaan SEA Games 1997 sebenarnya jatah Brunei Darussalam sebagai tuan rumah event dua tahunan tersebut. Namun Brunei keberatan lantaran belum siap menjadi tuan rumah, sehingga hak penyelenggaraan SEA Games 1997 diserahkan kepada Indonesia.

"Lantaran biaya penyelenggara SEA Games 1997 ini tidak ada dalam APBN sebagaimana biasa maka untuk mengantisipasinya maka diputuskan mengundang pihak konsorsium swasta untuk berperan sebagai Mitra pemerintah dalam penyelenggaraan SEA Games," jelasnya.

Berdasarkan perhitungan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, biaya perhelatan SEA Games 1997 ini mencapai Rp70 miliar. Konsorsium pun menyanggupi biaya tersebut, termasuk biaya persiapan kontingen Indonesia.

Surat  pernyataan tersebut tercantum dalam butir pertimbangan penerbitan Kemenkokesra Nomor 14 tahun 1996 sebagai tindak lanjut dari Inpres Nomor 5 tahun 1996. Di luar rencana semula, konsorsium dibebani tambahan untuk persiapan kontinen Indonesia Pelatnas sebesar Rp32 miliar.

Sementara kegiatan Pelatnas tidak melekat kepada biaya pengadaan SEA Games.   

"Biaya pelaksanaan SEA Games seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia sebagai peserta dalam mempersiapkan keikutsertaan kontingen Indonesia dan bukan termasuk ke dalam biaya penyelenggaraan SEA Games oleh Konsorsium," jelasnya.

Konsorsium yang dipimpin Bambang Trihatmodjo ini sukses menyelenggarakan acara event internasional bergengsi tersebut. Bahkan Indonesia berhasil mempersembahkan gelar juara umum SEA Games 1997.   

Namun anehnya, kata Sasmito, putra mantan Presiden RI Soeharto ini malahan dicemarkan nama baiknya gara-gara talangan biaya persiapan dan pelatnas atlet SEA Games.  

"Nah sekarang dengan kasus ecek-ecek urusan dana talangan Rp35 miliar yang bukan untuk kepentingan pribadi Bambang Trihatmojo, kok untuk urusan yang belum pernah diklarifikasi kebenaran penggunaan dana SEA Games yang menelan biaya Rp156 miliar tidak mengundang langsung yang bersangkutan guna memberikan penjelasannya, tetapi malahan dengan wewenangnya selaku Bendahara Umum Negara menerbitkan keputusan Menkeu mencegah seorang WNI yang belum jelas legal standing-nya. Apakah kebijakan itu bukan suatu sikap sewenang-wenang?," paparnya.