JAKARTA - Pandemi COVID-19 memberikan dampak negatif kepada negara-negara yang terjangkit. Akibatnya, satu persatu mengalami resesi ekonomi. Amerika Serikat, Singapura, Jepang, mengalami resesi karena dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi negatif. Sementara, perekonomian Indonesia di kuartal II sudah negatif, namun kuartal I masih positif.
Resesi atau tidaknya Indonesia, ditentukan pada pertumbuhan ekonomi di kuartal III. Kondisi tersebut membuat ancaman resesi di Indonesia sudah ada di depan mata. Maka tak heran, saat ini hal tersebut menjadi sesuatu yang diperdebatkan.
Staf Khusus Komunikasi Strategis Menteri Keuangan Yustinus Prastowo angkat bicara mengenai hal ini. Menurut dia, tidak perlu untuk diperdebatkan mengenai Indonesia resesi atau tidak resesi. Saat ini, kata dia, yang penting pemerintah hadir untuk masyarakat.
"Yang penting sekarang bagaimana negara betul-betul hadir di saat market lumpuh," ujar Yustinus dalam diskusi bertajuk "Resedi Di Depan Mata: Indonesia Harus Apa?", Selasa, 25 Agustus.
Dalam kondisi krisis akibat pandemi COVID-19, kata Yustinus, negara memang harus hadir untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan. Dia berujar, pemerintah sudah memiliki strategi agar Indonesia nantinya keluar dari krisis ekonomi karena pandemi.
"Sekarang bukan apakah kita akan resesi atau tidak resesi, tapi apakah kita punya respons kebijakan yang membuat kita sendiri tenang. Kita merasa yakin dan secara jangka menengah, panjang kita punya skenario untuk keluar dari krisis ini," ucapnya.
Menurut Yustinus, seluruh dunia saat ini masih terus mengahadapi tantangan yang ditimbul akibat COVID-19. Gejolak ekonomi akibat pandemi juga belum bisa diprediksi kapan dapat kembali pulih seperti sedia kala.
Salah satu contohnya, seperti yang dialami Selandia Baru. Yustinus mengatakan, negara tersebut sempat nihil kasus positif COVID-19 selama tiga bulan, namun saat ini muncul lagi masyarakat yang terinfeksi.
BACA JUGA:
Artinya, kata Yustinus, dalam mengatasi pandemi COVID-19 khususnya di Indonesia bukan perkara gampang. Karena itu, dia mengharapkan, semua pihak ikut serta berkontribusi dalam mengatasi segala dampak negatif yang ditimbulkan.
"Kesehatan menjadi faktor determinan penting, tanpa pengendalian COVID yang meyakinkan sulit rasanya membuka ekonomi kita. Ini yang perlu kita pahami. Maka perlu kerja sama, pemerintah enggak mungkin sendirian (menangani dampak pandemi)," jelasnya.
Sinyal Resesi dari Sri Mulyani
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kuratal III 2020 paling tinggi hanya bisa menyentuh 0 persen. Namun, terdapat peluang pertumbuhan kuartal III akan jatuh di zona negatif bila tidak berhasil mencapai posisi netral nol persen.
"Kuartal III outlook-nya negatif 2 persen sampai 0 persen. Pergeseran dari pergerakan belum terlihat sangat solid," katanya, dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Selasa, 25 Agustus.
Sementara itu, Sri mengatakan, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada akhir 2020 yang berada pada kisaran minus 1,1 persen hingga 0,2 persen. Perkiraan angka realisasi tersebut sudah mempertimbangkan capaian ekonomi pada kuartal kedua yang minus 5,32 persen.
Jika prediksi Sri Mulyani benar terjadi, maka Indonesia akhirnya akan masuk ke jurang resesi teknikal yaitu kontraksi pertumbuhan di dua kuartal berturut-turut. Di mana pada kuartal II 2020 ekonomi Indonesia di angka minus 5,3 persen.
"Diakui bahwa ini adalah suatu yang cukup berat. Karena di kuartal III, konsumsi masih belum menunjukkan pemulihan seperti yang kita harapkan, dan kita masih punya waktu 1,5 bulan untuk kuartal III ini," tuturnya.