BPS: Pendapatan Masyarakat Turun, Ekonomi Indonesia Kontraksi di Kuartal II 2020
Ilustrasi. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, selama pandemi COVID-19 telah terjadi penurunan pendapatan masyarakat. Hasil survei yang dilakukan menujukan bahwa penurunan ini terjadi disemua lapisan masyarakat.

Suhariyanto berujar, meski semua lapisan terdampak. Namun, penurunan yang cukup dalam dialami oleh lapisan penduduk yang berpendapatan rendah yakni kisaran 1,8 juta per bulan.

"Di mana 7 dari 10 atau 70,53 persen orang yang berpendapatan rendah itu mengalami penurunan. Tetapi untuk yang menengah atas itu hanya 3 dari 10 atau 30,34 persen. Artinya dampak COVID-19 lebih dalam terhadap masyarakat yang berpendapatan rendah," katanya, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin, 22 Juni.

Suhariyanto menjelaskan, akibat penurunan pendapatan ini berdampak pada pola konsumsi masyarakat yang berubah. Di mana dari sisi kebutuhan primer atau pokok tidak bisa dikurangi. Namun, pengeluaran untuk BBM berkurang, sedangkan pemakaian pulsa bertambah.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, kondisi tersebut tidak terlepas dari terhentinya aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sehingga membuat mayoritas pergerakan masyarakat terhenti dan hanya bisa bekerja belajar dan beribadah di rumah saja selama PSBB.

"Aktivitas masyarakat di tempat perdagangan, ritel, rekreasi, taman, tempat transit transportasi bahkan waktu WFO (Work From Office) ditetapkan masih tetap rendah," tuturnya.

Seperti diketahui, ekonomi Indonesia paling bangak disumbang dari sektor konsumsi. Namun, karena pandemi COVID-19 konsumsi tidak sebesar sebelumnya.

Pertumbuhan Ekonomi Kontraksi di Kuartal II

Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II akan mengalami kontraksi. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai indikator ekonomi yang ada hingga bulan Mei. Salah satunya yaitu pertumbuhan ekonomi pada kuartal I.

Menurut Suhariyanto, pada periode Januari-Maret, ekonomi hanya tumbuh 2,97 persen, di bawah prediksi pemerintah yakni sekitar 4 persen.

"Untuk ekonomi dengan indikator yang ada sampai bulan Mei 2020, bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua kontraksi," jelasnya.

Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi yang mengalami pelambatan adalah pertanian. Suhariyanto menjelaskan, hal ini dikarenakan pergeseran puncak panen raya dari kuartal I ke kuartal II. Dari hasil pengamatan BPS menggunakan kerangka sampel area, produksi padi diperkirakan mengalami kenaikan enam hingga tujuh persen.

Lebih lanjut, dia berharap, dengan adanya kenaikan produksi padi, pencapaian tersebut mampu menahan laju kontraksi lebih dalam pada kuartal II.

Kemudian, penurunan juga terjadi di sektor penjualan mobil. Pada April hingga Mei penjualan sudah turun 93,21 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penurunan ini sangat dalam dibandingkan kuartal I yang merujuk pada Berita Resmi Statistik (BRS) terjadi kontraksi 6,88 persen dibandingkan kuartal pertama 2019.

Hal serupa juga terjadi di sektor penjualan motor. Suhariyanto lebih merepresentasikan pengeluaran golongan menengah ke bawah. Pada April, penjualannya turun hingga 79,31 persen dibandingkan April 2019.

Penurunan di Impor Bahan Baku

Tak hanya itu, pada sektor impor bahan baku juga mengalami hal serupa. Pada April-Mei 2020, terjadi penurunan 30,63 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019. PMI Manufaktur pun masih berada pada level 27,5 pada April dan 28,6 pada Mei, jauh dari batasan ekspansi yang ditetapkan berada pada tingkat 50,0.

Suhariyanto mengatakan, dari sisi pengeluaran dengan seluruh komponen mengalami penurunan cukup dalam pada kuartal I. Khusus konsumsi rumah tangga, terjadi penurunan signifikan, dari 5,02 persen pada kuartal pertama 2019 (yoy) menjadi 2,84 persen pada kuartal pertama 2020 (yoy).

Lebih lanjut, dia mengatakan, penyebabnya adalah terjadi penurunan permintaan yang dalam untuk konsumsi non makanan. Pertumbuhan konsumsinya drop dari 4,7 persen ke 1,38 persen pada kuartal pertama tahun ini.

"Karena ada penurunan pada konsumsi pakaian, alas kaki, transportasi, komunikasi, penjualan motor dan mobil dan sebagainya," jelasnya.

Sementara itu, jumlah penumpang angkutan udara juga mengalami penurunan pada kuartal I yang terkontraksi 13,62 persen mencapai negatif 87,91 persen.

Kemudian, nilai transaksi elektronik seperti kartu kredit dan debit juga mengalami kontraksi lebih dalam. Dari semula kontraksi 1,07 persen pada kuartal pertama menjadi kontraksi 18,96 persen pada periode April hingga Mei.

"Dengan memperhatikan indikator-indikator ini, kita bisa perkirakan akan cukup dalam kontraksi pada kuartal kedua," ucapnya.