Sejarah Kolintang: Dulu Alat Musik Ritual, Kini Ikon Minahasa

JAKARTA - Bumi Nusantara tak melulu dikenal dengan keragaman kekayaan alamnya. Kekayaan seni musik tak kalah bejibun. Narasi itu dibuktikan dengan hadirkanya alat musik khas dari ujung timur hingga barat Nusantara.

Ambil contoh di kawasan Minahasa, Sulawesi Utara. Orang Minahasa punya alat musik kebanggaan. Kolintang, namanya. Alat musik itu kerap hadir dalam setiap ritus hidup -- ritual orang Minahasa. Belakangan Kolintang jadi alat musik pengiring segala macam hajatan orang Minahasa.

Seni musik Nusantara bak tak pernah habis dibicarakan. Jumlah bejibun. Bahkan, tiap daerah memiliki alat musik dengan corak, bentuk, dan hasil bunyiannya tersendiri. Narasi itu sempat dibuktikan oleh etnomusikolog asal Belanda, Jaap Kunst pada 1930-an.

Ia jadi sosok pertama yang telah keliling Nusantara untuk meneliti, mendokumentasi, dan merekam keunikan alat musik. Artinya sedari dulu bumi Nusantara sudah diakui memiliki seni musik yang melimpah. Namun, eksistensi dari alat musik tradisional kerap jadi pertanyaan di era kekinian.

Ada yang sudah dilupakan. Ada pula yang masih eksis hingga kini. Ambil contoh seni musik asal Minahasa: kolintang. Jenis kolintang beragam. Ada kolintang besi yang lebih dulu digunakan. Ada juga kolintang kayu yang belakangan dikenal.

Penampilan sebuah orkestra kolintang. (Wikimedia Commons)

Mulanya nama kolintang sendiri muncul dari Tanah Minahasa punya beragam versi. Orang-orang Minahasa punya cerita rakyat terkait kolintang. Konon, kehadiran alat musik itu dimulai dari seorang pemuda anonim di era Minahasa lampau.

Pemuda tersebut diketahui putus cinta. Ia kemudian melihat pujaan hatinya bersama pria lain di dekat Danau Tondano. Rasa sakit hati dan kecewa menyelimutinya. Ia pun lari ke hutan. Ia memukul-mukul kayu yang ditemukannya.

Istimewanya pukulan itu dianggapnya berirama. Beda bentuk kayu, beda bunyi. Ia pun menyusun kayu-kayu itu lalu suara merdu terdengar. Alat musik itu kemudian dinamakan niko lintang (kolintang). Akan tetapi, beda hal dengan yang dijelaskan sejarah.

Kolintang justru sudah hadir jauh sebelum pengaruh musik barat muncul. Kolintang yang ada pertama kali bukan berasal dari kayu, tapi besi. Alat musik itu dibawa musik dari Ternate, lalu menyebar ke seluruh Minahasa.  

“Ada pula yang disebut kolintang besi (di Bolaang Mongondow, juga hanya disebut kulintango di Bintauna) dan kolintang tembaga (di daerah Minahasa). Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat bahkan sesudahnya, para raja di Bolaang Mongondow pengesahannya dilakukan di istana Kesultanan Ternate. Raja yang pertama disahkan diberi kan seperangkat alat musik dari bahan logam yang menyerupai gamelan yang disebut kolintang besi atau kulintango.”

“Kemungkinan besar alat musik ini ada di Ternate didatangkan dari Jawa; di Jawa sendiri, alat musik gamelan dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang dan seni tari. Para raja Bolaang Mongondow yang dilantik di Ternate itu, selain diberikan gamelan (yang disebut kulintango atau kolintang besi) juga dianugerahkan payung kebesaran raja yang di Bintauna disebut paungo,” ujar Bambang Suwondo dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara (1978).

Ikon Minahasa

Kehadiran kolintang di tanah Minahasa membawa banyak manfaat. Pemainan musik kolintang pun mulai dianggap sakral. Kolintang dimainkan sebagai bagian dari ritus hidup dan ritual penting di Minahasa, dari upacara adat hingga pesta.

Kesakralan itu ditegaskan lagi dengan mereka yang bisa memiliki alat musik kolintang besi terbatas kepada kalangan bangsawan dan orang kaya saja. Alat musik itu juga dijadikan emas kawin yang berharga. Pun hal yang paling penting alat musik kolintang kerap direbutkan ketika peperangan.

Dulu kala satu set kolintang besi terdiri dari enam buah gong perunggu. Rata-rata bergaris tengah 23 cm dan tinggi 12 cm. Namun, belakangan kolintang kayu mulai meramaikan jagat seni musik di Minahasa pada era 1940-an.

Orang-orang Minahasa lalu mulai keranjingan kolintang kayu. Pembuatannya yang singkat dan bahan yang mudah ditemukan jadi muaranya. Kehadiran kolintang kayu kala itu berfungsi untuk mengganti orkes hawaiian yang populer di Sulawesi utara.

Kayu yang digunakan rata-rata kayu lokal macam kayu cempaka hingga waru.  Kala barisan kayu itu digebuk akan menghasilkan suara merdu. Tong (nada rendah), ting (nada tinggi), dan tang (nada biasa). Narasi itu membuat orang-orang mulai menggemari kesenian Kolintang.

Puncaknya, kolintang kayu mulai menggeser kolintang besi. Pengguna kolintang besi mulai sedikit hingga menghilang. Kondisi itu membuat pengaruh kolintang kayu kian membesar. Tiada hajatan besar di Minahasa yang tak menggunakan kolintang.

Alat musik itu digunakan untuk menyambut tamu. Alat musik itu digunakan untuk mengiringi tarian. Alhasil, kolintang lalu menjelma jadi ikon pariwisata Minahasa.

“Peralatan musik Kolintang Kayu pada waktu itu hanya menggantikan orkes Hawaiian yang sangat terkenal di Minahasa sekitar tahun 1930-an. Alat musik Hawaiian yang menggunakan listrik ditambah Kolintang Kayu yang memainkan melodi, diiringi gitar, ukulele dan string bass besar.”

“ Mulai tahun 1960-an alat musik ukulele, gitar, string bass malahan digantikan oleh Kolintang Kayu yang lalu menjadi musik Kolintang seperti yang sekarang ini: Melodi Kolintang, Gitar Kolintang, Bas Kolintang, dan Ukulele Kolintang,” terang Jessy Wenas dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2017).