JAKARTA - Apa yang paling melekat dari kunjungan ke Manado, Sulawesi Utara? Keindahan Taman Laut Bunaken? Magisnya Puncak Gunung Mahawu? Atau justru menaklukkan jeram-jeram menantang di Sungai Nimanga? Barangkali betul. Tapi, sejatinya, Manado selalu lebih dari alam. Kuatnya budaya jadi pemikat lain. Tarian khas Suku Minahasa, Tari Maengket, misalnya.
Tari Maengket lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Di abad ketujuh tepatnya, ketika masyarakat Minahasa mulai akrab dengan sistem pertanian. Tari Maengket yang mulanya hanya ditampilkan sebagai wujud syukur tiap kali panen raya, kini terus bertransformasi. Tari Maengket kini dimainkan di berbagai acara, mulai upacara adat, penyambutan, hingga ditampilkan dalam pertunjukan seni.
Menurut penelusuran sejarah, asal kata "maengket" dijelaskan dalam banyak versi. Salah satunya disebut berasal dari kata "enket", yang dalam bahasa setempat berarti mengangkat tumit kaki naik dan turun. Tambahan kata "ma" sendiri berarti menari dengan gerakan naik dan turun. Versi lain menyebut Maengket bermula dari kata mahaengket. Maha berarti melakukan pekerjaan, sementara engket berarti angkat, jengket atau sambung menyambung.
Dikutip dari Kemdikbud.or.id, masyarakat kemudian mengartikan Tari Maengket sebagai ajang berkumpul sembari bernyanyi sambil menari, berpegangan tangan, hingga membentuk lingkaran dengan gerakan khas: maju selangkah, mundur selangkah dengan tangan diayunkan mengikuti ritme lagu yang dinyanyikan bersama-sama.
Umumnya, Tari Maengket dibawakan secara kelompok dengan melibatkan 12 penari pria dan wanita yang berpasang-pasangan. Hal menarik dari Tari Maengket adalah bagaimana para penari bergerak sembari bernyanyi di bawah pimpinan langsung kapel yang diperankan seorang wanita. Tari Maengket kerap dimaknai sebagai wujud kesetaraan. Dengan komando wanita, seluruh penari bergerak selaras diiringi merdunya musik tambur. Suara kolintang hingga tifa menciptakan harmonisasi.
Dalam Tari Maengket, para wanita mengenakan kostum berupa kebaya dengan kain panjang khas Sulawesi Utara dan riasan rambut berkonde. Sementara, para pria mengenakan baju lengan panjang dan celana panjang. Kepala mereka dimahkotai dengan penutup kepala khas daerah setempat. Seiring perkembangan zaman, para penari mulai berkreasi dengan coran dan warna kostum mereka.
Babak-babak Tari Maengket
Dalam perkembangannya, Tari Maengket terdiri dari tiga babak. Pertama, babak panen padi (maowey kamberu). Kedua, babak naik rumah baru (marambak). Sementara, yang ketiga adalah babak pergaulan muda-mudi (lalayaan).
Maowey Kamberu. Babak ini memuat perkara cara orang Minahasa membuka lahan, menanam, memanen padi, hingga bagaimana mereka mengucap syukur atas panen padi yang berlimpah. Lazimnya, tarian dihadirkan dalam formasi khusus, dengan formasi utama yang memiliki ciri para penari lelaki berbaris untuk membuat formasi setengah lingkaran.
Hal yang sama juga dilakukan penari wanita yang berbaris setengah lingkaran tepat berada di depan laki-laki. Formasi itu membangun pemaknaan akan nilai-nilai gotong royong yang begitu tinggi di antara mereka.
Marambak. Babak ini membuat perkara bagaimana orang Minahasa membangun rumah baru. Mulai dari dipilihnya kayu hingga terbentuk menjadi rumah yang kokoh. Tarian Maengket Marambak digelar sebagai selebrasi ucap syukur atas tempat tinggal baru yang mereka miliki. Lazimnya, tarian dilakukan dalam formasi lingkaran. Para penari membentuk lingkaran dengan saling berpegang pada pundak penari lain di depan mereka.
Lalayaan. Babak ini menggambarkan pergaulan orang Minahasa dan kehidupan muda-mudi. Babak ini juga menggambarkan bagaimana anak-anak muda suku mencari jodoh. Formasi tarian ini biasanya terbagi menjadi dua kelompok barisan. Ada barisan yang menari sambil berpegang tangan dalam formasi lingkaran, ada juga yang saling berhadapan antara penari laki-laki dan perempuan.
Melihat langsung Tari Maengket
Beberapa waktu lalu, VOI berkesempatan menyaksikan langsung pertunjukkan Tari Maengket. Dengan tajuk Hiduplah sebagai Sahabat Semua Orang, Tari Maengket digelar di Grand Ball Room Integrity Convention Center (ICC), Kemayoran, Jakarta Pusat. Acara itu digelar oleh Kurukunan Keluarga Kawanua (KKK) sebagai ajang silaturahmi masyarakat asli Minahasa --Tou Kawanua-- di perantauan.
Tarian Maengket dalam acara itu digelar dengan konsep modern. Meski begitu, tak ada satu pun filosofi kehidupan masyarakat Tou Kawanua yang tertinggal. Gotong royong dan pandainya mereka bersyukur ditampilkan penuh kebanggaan sebagai jati diri.
Tari Maengket modern itu berhasil menghipnotis empat ribu orang yang hadir. Mereka tak hanya hikmat dalam sajian seni, tapi juga tertunduk dalam nilai penuh edukasi yang diajarkan nenek moyang Tou Kawanua.
Akhir kata, pandangan orang-orang yang melihat Tari Maengket, dapat dikatakan mirip-mirip seperti yang diutarakan oleh Alfred Russel Wallace dalam bukunya berjudul Kepulauan Nusantara. Wallace berucap:
Penduduk Minahasa memiliki karakter khusus. Mereka tenang dan lembut, patuh pada pemerintah yang mereka sadari lebih tinggi, dan dapat dengan cepat mengadopsi peradaban yang lebih maju.