Mengenal Savior Complex, Perilaku Suka Menolong Sampai Abai pada Kesejahteraan Pribadi

YOGYAKARTA – Berempati dan menolong orang lain bukan tidak boleh dilakukan. Namun jangan sampai abai dengan kesejahteraan pribadi. Kalau sampai lupa dengan kebutuhan sendiri dan terus-menerus menjadi juru selamat orang tertentu, disebut savior complex. Menurut psikiater Cassandra Boduch, MD., istilah savior complex disebut juga mesias complex atau sindrom ksatria putih.

Kompleks penyelamat, menggambarkan seseorang yang merasa memiliki misi yang harus dipenuhi berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai kemampuan khusus mereka. Jadi seorang savior complex menolong atau menyelamatkan orang lain didorong misi atas anggapan ia memiliki kemampuan khusus.

Perilaku menjadi savior ini, bukan kondisi yang bisa didioagnosis secara fomal. Tetapi beberapa profesional kesehatan mental menganggap kondisi ini berkaitan dengan hal klinis. Ahli menganggap motivasi di balik kompleks penyelamat memengaruhi seseorang secara mental dan emosional. Artinya, kalau membantu atau “menyelamatkan” orang lain dianggap tujuan hidup sampai-sampai berdampak negatif bagi kehidupan sehari-harinya, maka bisa dikatakan orang tersebut berperilaku savior complex.

Ilustrasi tanda dan penyebab perilaku savior complex (Freepik/jcomp)

Namun penting dipahami, jika Anda adalah orang yang suka menolong dan peduli, tidak berarti menderita savior complex. Ada tanda-tanda khusus yang perlu diwaspadai sebagai savior complex, antara lain berikut ini:

  1. Merasa mendapatka tujuan dan nilai secara eksklusif ketika menjadi satu-satunya sumber bantuan bagi seseorang..
  2. Tidak mampu mengatakan “tidak” terhadap permintaan orang lain.
  3. Tidak mampu menetapkan batasan pada waktu dan energi karena merasa orang lain “membutuhkan” bantuan.
  4. Mengabaikan kebutuhan perawatan diri sendiri atau memaksakan diri untuk memastikan kebutuhan orang lain terpenuhi.
  5. Bekerja sampai kelelahan guna mencoba memenuhi harapan orang lain.

Menurut konselor kesehatan mental berlisensi GinaMarie Guarino, LMHC.,  mencari atau tertarik pada orang yang “rusak” dan menjadikan tanggung jawab untuk membantu, menyelamatkan, atau merehabilitasi mereka juga tanda savior complex. Penting juga dicatat, kata Guarino, orang dengan kompleks penyelamat akan berjuang ketika tidak merasa dibutuhkan oleh orang lain.

Penyebab seseorang berperilaku sebagai penyelamat, sangat kompleks. Seseorang yang mengalaminya, pernah berurusan dengan trauma atau kesedihan. Terutama mereka yang pernah berjuang dengan rasa bersalah karena tidak membantu seseorang yang penting dalam hidup mereka. Hal ini dapat berdampak pada usia berapa pun, terutama di masa kanak-kanak.

“Dijadikan 'orang tua' atau dipaksa untuk mengambil tanggung jawab orang dewasa atau seperti orang tua selama masa kanak-kanak adalah penyebab lainnya”, jelas Guarino. Selain itu, seseorang dengan harga diri rendah, menyebabkan munculnya perilaku savior complex.

Psikiater dan peneliti Judith Joseph, MD., MBA. dilansir VeryWellMind, Jumat, 4 Oktober, mengatakan bahwa mereka yang memiliki complex  complex sangat keras pada diri sendiri dan terus-menerus memeriksa diri sendiri, sehingga mereka sulit sekali merayakan kegembiraan kecil. Itulah kenapa seseorang dengan sindrom penyelamat ini bisa mengalami depresi.

Cara mengatasi perilaku savior complex, pertama penting untuk mengenali tanda-tandanya. Kedua, penting untuk bertanya pada diri sendiri mengapa Anda harus mengobankan diri sepanjang waktu. Penting pula mengenali apa motivasinya dan mengenali diri secara introspektif sehingga membantu Anda mengungkap penyebab tindakan “juruselamat”.

Cara kedua dalam mengatasi perilaku savior complex, yaitu dengan berusaha untuk merawat diri sendiri. Dengan merawat diri, Anda juga lebih menghargai diri sendiri. Putuskan bahwa validasi dan persetujuan orang lain tidak menjadi fokus Anda. Tentukan juga hal-hal yang mendatangkan cinta, apakah itu dengan menjalani gaya hidup sehat, aktivitas spiritual, aktivitas kreatif, dan fokus pada hidup Anda.