Agresi Israel ke Palestina Masuk Bulan ke-12, Harapan Gencatan Senjata Menipis
JAKARTA - Agresi Israel ke Gaza, Palestina bakal memasuki bulan ke-12 pada 7 Oktober 2024.
Namun, peluang gencatan senjata diikuti pertukaran tahanan Palestina yang dipenjara Israel dengan sandera yang ditawan Hamas tampak menipis, dengan kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing.
Amerika Serikat (AS) -meski terus 'menguyur' dana untuk militer Israel, Qatar, dan Mesir sejauh ini telah menjadi penengah dalam upaya untuk mewujudkan gencatan senjata di Gaza.
Korban Sipil Serangan Israel
Mengutip Al Jazeera, Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan sedikitnya 40.939 warga Palestina per Sabtu 7 September 2024.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia atau OHCHR menambahkan, sebagian besar korban tewas itu adalah wanita dan anak-anak.
Sementara militer Israel menyebutkan, 251 sandera masih ditahan militan Palestina, di antaranya 97 orang masih berada di Gaza, termasuk 33 orang tewas.
Namun, mengungkapkan masih adanya sandera, Israel tetap terus menyerang membabibuta Palestina. Keputusan itu mendapat penolakan warga Israel.
Terbukti saat Israel mengumumkan menemukan jenazah enam sandera tewas di antara reruntuhan bangunan di Gaza pada Minggu 1 September. Penemuan yang diumumkan pada Sabtu 31 Agustus 2024 itu direspons demonstrasi besar-besaran di Tel Aviv dan kota-kota Israel pada malam di hari yang sama.
Ribuan demonstran warga Israel menuntut Perdana Menteri (PM) Israel Benyamin Netanyahu mengambil keputusan yang mendorong keselamatan sandera.
Netanyahu dituntut memilih gencatan senjata demi bebasnya para sandera dibanding terus menegaskan serangan balasan.
Warga Israel dalam demonstrasi itu terlihat membawa spanduk bertuliskan "Darah ada di tangan kalian" dan "Siapa berikutnya?"
Hasrat Netanyahu terus melakukan serangan ke Gaza tentu kontras dengan apa yang terjadi pada November 2023. Kala itu, gencatan senjata terjadi selama satu minggu, banyak sandera dari kedua belah pihak dibebaskan.
Baca juga:
- Pejabat PBB: Eropa Hadapi Ancaman Besar Teror ISIS-K Pascarencana Serangan Konser Taylor Swift
- Kalah Jumlah Hadapi Demonstran Tandingan di London, Perusuh Sayap Kanan Inggris 'Tantrum'
- 38 Wilayah di Inggris Jadi Target Baru Kerusuhan Ekstremis Sayap Kanan, 6.000 Polisi Diterjunkan
- Oposisi Minta PM Inggris Tegas ke Ekstremis Sayap Kanan Perusuh Demo
Permukiman Ilegal Israel
Tekanan internasional untuk mengakhiri serangan Israel jsemakin meningkat ketika aktivis AS-Turki, Aysenur Ezgi Eygi, ditembak mati saat berdemonstrasi menentang permukiman ilegal Israel di Tepi Barat pada Jumat pekan lalu.
Keluarga menuntut penyelidikan independen atas kematian Eygi. Mereka mengatakan militer Israel tidak mengakui hukum internasional melakukan kekerasan berdarah mengambil paksa nyawa sipil.
OHCHR mengatakan pasukan Israel membunuh Eygi, 26 tahun, dengan "tembakan mematikan di kepala". Gubernur Nablus Ghassan Daghlas pada Sabtu pekan lalu menyebutkan, hasil autopsi aktivis AS-Turki itu ditembak di kepala oleh sniper Israel.
Turki juga menegaskan nyawa Eygi dicabut "tentara pendudukan Israel". Sementara AS ikut bersuara dengan mengatakan, kematian itu "tragis" dan mendesak Israel untuk melakukan penyelidikan.
Pembunuhan Eygi terjadi pada hari di mana pasukan Israel menarik diri dari serangan mematikan selama 10 hari di Kota Jenin, Tepi Barat.
AFP melaporkan, penduduk Palestina yang kembali ke rumahnya usai Israel keluar Tepi Barat mendapati, kediamannya rusak parah bahkan banyak yang tak lagi bisa ditempati.
Sekitar 490.000 orang diketahui tinggal di permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, yang diduduki Israel sejak tahun 1967.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, warga Israel di permukiman ilegal itu juga telah melakukan pembunuhan terhadap lebih dari 690 warga Palestina.
Atas kematian Eygi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bereaksi keras dengan menyebut Israel sebagai negara "barbar". Dia juga mendesak negara-negara Muslim untuk membentuk "aliansi" melawan Israel
"Merupakan kewajiban Islam bagi kita untuk melawan teror negara Israel. Itu adalah kewajiban agama," kata Erdogan.
Menanggapinya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel mengklaim Erdogan "terus melemparkan orang-orang Turki ke dalam api kebencian dan kekerasan demi teman-teman Hamasnya."
Israel Tarik Pasukan dari Tepi Barat
Adapun penarikan pasukan dari Tepi Barat terjadi ketika Israel berselisih dengan AS mengenai perundingan untuk mencapai gencatan senjata di Gaza.
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken mengatakan negosiasi gencatan senjata nyaris "90 persen disetujui". Blinken pun mendesak Israel dan Hamas untuk menyelesaikan kesepakatan.
Namun, Netanyahu membantah hal itu, dengan mengatakan kepada Fox News: "[Kesepakatan] itu belum mendekati."
Dalam kesepakatan, Hamas menuntut penarikan penuh Israel dari Jalur Gaza. Hamas juga menyetujui proposal yang diajukan Presiden AS Joe Biden beberapa bulan lalu.
Baca juga:
Agresi Brutal Lanjut Terus
Sejak penarikan diri di Jenin, Tepi Barat, AFP melaporkan pasukan Israel tetap membobardir wilayah Palestina lainnya. Salah satunya serangan udara Israel menghancurkan Gaza pada Sabtu pekan lalu menewaskan 17 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
Pada waktu yang sama, 4 orang juga tewas dalam serangan udara Israel yang menargetkan sebuah rusun di Kamp Bureij.