Jusuf Kalla Tolak Usul IPDN Dibubarkan dalam Memori Hari Ini, 8 September 2015

JAKARTA – Memori hari ini, sembilan tahun yang lalu, 8 September 2015, Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) tolak usul Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dibubarkan. Ia menganggap IPDN masih diperlukan untuk medidikan para calon birokrat supaya tata pemerintahan menjadi terjaga.

Sebelumnya, deru protes supaya IPDN dibubarkan mencuat ke mana-mana. Isu muncul karena pernyataan dari Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ia merasa tiada yang spesial dari lulusan IPDN selama ini.

Sekolah untuk calon pegawai pemerintahan sudah ada sejak era penjajahan Belanda. OSVIA, namanya. Sekolahnya itu jadi ajian Belanda untuk memperoleh calon pegawai negeri berkualitas. Kaum bumiputra pun berlomba-lomba untuk dapat masuk ke sana.

Kondisi itu tak jauh berbeda kala Indonesia merdeka. Sekolah yang khusus mencetat birokrat pemerintahan tetap dipertahankan dan jadi rebutan. Namun, sekolah-sekolah itu berganti nama. Belakangan pada 1992 sekolah itu dikenal luas sebagai Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).

Puncaknya STPDN pun melebuh jadi satu dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) pada 2003. Peleburan itu menghasilkan IPDN. Tujuannya jelas supaya usaha melahirkan birokrat yang berkualitas. Suatu birokrat yang dapat membantu kinerja pemerintahan dalam melayani masyarakat dengan baik.

Jusuf Kalla yang pernah jadi Wapres Indonesia era pemerintahan Jokowi dari 2014-2019. (ANTARA)

Gubernur DKI Jakarta, Ahok tak sependapat dengan narasi yang ada. Citra lulusan IPDN dapat lebih unggul dalam tata pemerintahan dianggapnya omong kosong belaka. Kinerja mereka tak spesial. Beberapa korup pula.

Ahok menilai mereka kerap patungan menyogok jaksa atau inspektorat terkait supaya tak diperiksa. Kondisi itu dianggap Ahok sudah salah. Belum lagi, tradisi IPDN yang kerap mempertonton senioritas yang akrab dengan kekerasan.

Ahok mengungkap di era modern suplai untuk jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak harus dari IPDN. Mereka yang berasal perusahaan swasta, polisi, TNI, hingga S1 juga bisa. Ia pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membubarkan saja IPDN.

"Saya mau tanya, pelayanan publik kepada masyarakat Indonesia selama ini semua PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), baik enggak? Siapa yang jadi lurah camat dulu? Alumni (IPDN). Siapa yang berantem, berapa banyak orang mati di IPDN? Saya mau Tanya. Sekarang saya tanya, di Jakarta, PTSP dipegang IPDN apa bukan sekarang?”

“Bukan, tapi lebih baik. Di dalam UU ASN itu ada 2, ada yang pegawai kontrak dan ada yang PNS. Nah, kalau ngomong gitu kenapa kamu enggak bilang rezeki kamu diambil? Apakah anak-anak IPDN pasti lebih baik dari anak non-IPDN? Enggak juga. Misalnya, contoh mengagungkan STPDN atau IPDN segala macam, saya mau tanya republik kita ini maju enggak hari ini dengan dolar begitu? Selama ini yang jadi pamong tuh siapa, saya mau tanya?” terang Ahok sebagaimana dikutip laman liputan6.com, 8 September 2015.

Usul Ahok menjadi polemik. Ada yang mendukung. Ada pula yang menolak. Penolakan bahkan muncul dari Wakil Presiden, Jusuf Kalla pada 8 September 2015. Ia menilai IPDN masih diperlukan untuk mendidik para calon birokrat.

Ia menolak dengan tegas usul IPDN dibubarkan. Semuanya karena pekerjaan sebagai birokrat harus ada sekolah khususnya. Ia menegaskan jika ada yang salah terkait kekerasan di IPDN, maka kekerasannya yang dihilangkan. Bukan IPDN dibubarkan.

“Kita tetap memerlukan pendidikan birokrasi untuk pamong praja, IPDN. Khusus untuk pamong praja, urusan camat, lurah, itu harus ada pendidikannya. Kalau begitu bukan IPDN-nya yang dibubarkan, tetapi unsur kekerasannya yang harus dihilangkan," ujar JK sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 8 September 2015.