Titip Anak ke Budak: Kelakuan Orang Belanda Malas Jaga Anak Era VOC

JAKARTA - Pejabat maskapai dagang Belanda, VOC terkenal sibuk. Mereka jarang memiliki waktu melimpah. Waktu libur pun sedikit. Urusan pengasuhan anak saja tak pernah jadi beban pikiran. Mereka memiliki solusi supaya seluruh tugas pengasuhan tak dibebani orang tua, tapi kepada budak.

Pengasuhan itu biasanya dilakukan sehari penuh. Kondisi itu membuat ikatan batin anak Belanda kepada budak pengasuhnya terjalin. Anak-anak Belanda jadi lebih dekat ke budak dibanding orang tua. Mereka lebih hafal bahasa budak, ketimbang bahasa Belanda.

Tugas pengasuhan anak sudah seharusnya menjadi beban orang tua, laki-laki maupun wanita. Orang tua harus merasakan semua fase kehidupan anak, dari membesar, membimbing, dan mendidik. Upaya itu supaya transfer ilmu dan nilai kebaikan berhasil ditularkan ke anak.

Emosional orang tua-anak pun terbangun. Kondisi itu justru tak terjadi di era Kompeni. Mereka hidup kerap mementingkan pekerjaan dan jadi kaya raya. Kondisi itu membuat orang tua Belanda tidak tahu, bahkan terlalu malas untuk meleburkan diri dalam pola pengasuhan anak.

Sebagai gantinya mereka mempercayai urusan pengasuhan anak dari bayi kepada salah satu budak wanita. Opsi itu lazim dilakukan para orang tua Belanda sebagai solusi instan masalah anak. Mereka menganggap membeli budak bukan perkara besar.

Potret budak membawa payung tuannya orang Belanda. (Wikimedia Commons)

Stoknya melimpah dan harganya terjangkau. Bayangkan saja, satu keluarga di Batavia (kini: Jakarta) bisa memiliki puluhan hingga ratusan budak. Kondisi itu membuat orang tua Belanda dapat fokus bekerja. Mereka dapat mengerjakan urusannya tanpa terganggu urusan membesarkan anak.

Budak mendidik anak pun dianggap sebagai bentuk kemakmuran di eranya. Barang siapa yang mampu memiliki banyak budak dianggap hidup terhormat dan kaya raya. Ego itulah yang membuat mereka merasa terlalu hina untuk ikut dalam tugas pengasuhan anak.

Tugas itu sudah seharusnya jadi tanggung jawab budak. Mereka harus menemani anak majikannya dari bayi. Segala macam kebutuhan anak harus mereka penuhi. Kalaupun ada transfer ilmu dari orang tuanya, ilmu yang diambil bisa saja bagian orang tua memarahi budak.

Kata-kata kotor yang keluar dari mulut orang tuanya kepada budak itu terekam. Suatu ketika kata-kata kotor keluar dari mulut anak dan menghujani budak penjaganya jika keinginannya tak diwujudkan.

“Hidup para warga bebas berbeda. Banyak dari mereka hidup sebagai parente dan kegiatan serupa yang memberikan mereka banyak waktu luang. Hampir semua warga bebas adalah mantan pegawai Kompeni, dan masyarakat Batavia terdiri atas orang kaya baru yang suka pamer kekayaan berselera rendahan. Dianggap tanda kemakmuran bila punya banyak budak dan melepaskan semua kerja dan urusan, bahkan pendidikan anak –anak  kepada pelayan (budak),” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).

Risiko Anak Dididik Budak

Boleh jadi memiliki budak banyak dianggap menguntungkan oleh orang Belanda. Namun, kaum penjajah bak tak tersadar bahwa itu opsi merugikan. Anak-anak mereka tumbuh jauh dari standar yang orang tuanya inginkan.

Mereka yang harusnya tumbuh dengan nilai-nilai Eropa, justru tumbuh dengan nilai-nilai yang dianut budak. Masalah yang muncul. Ikatan antara anak-budak terus terjalin. Mereka merasa lebih dekat dengan budak, dibanding orang tuanya.

Alih-alih tumbuh cerdas, anak-anak hasil didikan budak hidup selayaknya serorang budak. Mereka berbicara dengan bahasa budak. Mereka makan dengan cara budak. Pun mereka belajar dengan cara budak.

Anak laki-laki boleh saja mendapatkan tambahan pendidikan dari guru privat – sekalipun belum menjamin bisa keluar dari cara hidup budak. Namun, anak wanita tak seberuntung itu. Mereka tak belajar apa-apa, selain cara hidup budak.

Mereka tak fasih berbahasa Belanda. Sebab, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sehari-hari yang digunakan budak.

Kondisi itu jadi bukti bahwa mempercayakan anak ke budak bukan solusi yang bijak. Opsi anak dididik budak justru mempertontonkan bahwa uang tak selamanya menyelesaikan masalah. Anak-anak tumbuh dengan bahasa campuran seumur hidup mereka dan tak terlihat lagi bagian Eropa, selain corak wajah.

Mereka pun berpikir, bekerja, dan bertingkah laku selayaknya budak. Belakangan pada masa Hindia Belanda orang-orang Eropa lebih banyak mencari pengasuh –babu—orang Eropa juga atau kaum bumiputra yang sudah menguasai bahasa asing, seperti Belanda atau Prancis. Mereka tak lagi-lagi mau kecolongan.  

“Karena dibesarkan oleh para budak dan mengadopsi tingkah laku mereka, berikut kebiasaan-kebiasaannya. Anak-anak itu mampu berbicara bahasa Malabar, Sinhala, Benggali, dan Portugis itu. Dan ketika mereka beranjak dewasa, mereka kesulitan berbahasa Belanda dengan baik dan benar, tanpa mencampurkan dengan bahasa Portugis pasar di dalamnnya,” tutup De Graaf dikutip Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).