Pemerintah Belum Putuskan Minta Maaf atas Kasus Pembersihan PKI 1965 dalam Memori Hari Ini, 19 April 2016

JAKARTA – Memori hari ini, delapan tahun yang lalu, 19 April 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pemerintah belum putuskan urusan permintaan maaf atas kasus ‘pembersihan’ PKI 1965. Jokowi pun mengaku pemerintah akan menyelesaikannya dan takkan tutup telingga.

Sebelumnya, urusan permintaan maaf kepada korban atau keluarga korban tragedi 1965 dikenal bak hal sensitif. Hanya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sempat menyatakan permintaan maaf. Presiden lainnya belum.

Noda kekejaman Gerakan 30 September (G30S) 1965 terus jadi bayang kelam sejarah bangsa Indonesia. Penculikan dan pembunuhan sederet dewan jenderal TNI Angkatan Darat (AD) dianggap keji. Pemerintah Indonesia ambil sikap. Pemberontakan berhasil dipadamkan.

Sosok yang jadi juru selamat tak lagi adalah Pangkostrad, Mayjen Soeharto (kemudian dikenal sebagai Presiden Indonesia ke-2). Ia mampu mengisi kekosongan kepemimpinan AD. Belakangan Soeharto pun menganggap Partai Komunis Indonesia (PKI) jadi dalang G30S.

Tentara menangkap dan memamerkan sejumlah orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI di Blitar, Jawa Timur salah satunya adalah Putmainah, tokoh Gerwani dan anggota DPRD dari Fraksi PKI di Blitar. (BBC/Dok. Putmainah)

Landasan itu membuat Soeharto bergerak lebih jauh. Ia menjalankan upaya pembersihan PKI. Konon, korbannya mencapai jutaan orang. Upaya itu dianggap banyak pihak tampak tak adil dan keji. Mereka yang jadi korban justru kebanyakkan tak ada sangkut pautnya G30S.

Pembersihan PKI 1965 lalu menjelma jadi noda masa lalu. Tak banyak presiden yang berani secara terbuka mendiskusikan masalah tersebut. Namun, kala pemerintahan dipimpin oleh Gus Dur semuanya berubah.

Sikap Gus Dur terhadap tragedi pembersihan PKI 1965 jelas. Baginya, sekalipun PKI dalangnya, tentu tak dibenarkan jika orang lain –simpatisan PKI—yang tak tak bersalah harus dihukum. Ia menyampaikan permintaan maaf ke seluruh korban dan keluarga atas tragedi 1965.

Sebagai bentuk keseriusan, ia mengusulkan Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme, komunisme, dan leninisme segera dicabut. Permintaan maaf itu menimbulkan pro kontra. Pihak yang kontra menyebut penyataan itu muncul dalam kapasitas Gus Dur sebagai ketua PBNU, bukan mewakili sikap negara.

Seorang mahasiswa keturunan Cina melindungi mukanya saat dicemooh dan diserang secara fisik oleh sejumlah pemuda yang menyerang Universitas Res Publika, pada 15 Oktober 1965. (BBC/Getty Images)

 “Dengan meminta maaf, Gus Dur juga membongkar belenggu takhayul selama. hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, istri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu?”

“Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar pada tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu,” ungkap Goenawan Mohamad dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001).

Penantian permintaan maaf negara secara resmi kepada korban pembersihan PKI 1965 dan pelanggaran HAM lain terus berlanjut. Bahkan, para era pemerintah Jokowi. Berkali-kali pemerintah diminta meminta maaf.

Pemerintah ambil sikap takkan minta maat atas peristiwa 1965. Namun, seiring perjalanannya waktu, asa untuk meminta maaf mulai terlihat. Hal itu terlihat kala Jokowi menghadiri acara temu keluarga Indonesia di London, Inggris, pada 19 April 2016.

Jokowi menegaskan sampai saat ini pemerintah sedang merundingkan. Alhasil, pemerintah belum dapat memutuskan terkait permintaan maaf negara kepada korban tragedi 1965. Jokowi berjanji pemerintah takkan tutup mata. 

“Sekarang menuju penyelesaian … belum ada keputusan. Kita ingin ini selesai, jangan menjadi beban masa depan. Kita ingin selesai, bukan konfrontasi. Saya dengar, saya tak tutup telinga,” kata Presiden Jokowi, merespons seorang penanya bernama Soe Tjen Marching sebagaimana dikutip laman BBC, 19 April 2016.