Senpi Ilegal, Polri Lengkapi Berkas Dito Mahendra yang Sempat 'Ditolak' Kejaksaan

JAKARTA - Penanganan kasus dugaan kepemilikan senjata api (senpi) ilegal dengan tersangka Dito Mahendra telah masuk di tahap pemberkasan. Penyidik berkoordinasi dengan jaksa peneliti perihal kelengkapan formil maupun materiil.

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan koordinasi dengan jaksa dilakukan usai berkas perkara Dito Mahendra dinyatakan belum lengkap.

“Terkait perkembangan penanganan masalah DM, kepemilikan senjata DM, berkas sudah kita kirim ke Kejaksaan, kemudian dari berkas sudah dikirim ada P19 yang harus dipenuhi oleh penyidik,” ujar Djuhandhani kepada wartawan dikutip Selasa, 31 Oktober.

Dalam proses melengkapi berkas perkara, penyidik disebut mesti memeriksa beberapa saksi lagi. Tujuannya, membuat terang mengenai asal usul senpi yang ditemukan di kediaman Dito Mahendra.

"Ada tambahan beberapa permintaan pemeriksaan terkait beberapa orang saksi terkait asal usul senjata," sebutnya.

Di sisi lain, Djuhandhani menjelaskan soal alasan kasus Dito Mahendra yang seolah 'tenggelam' usai proses penangkapan. Menurutnya, penanganan tetap berjalan, hanya saja memang penyidik fokus pemberkasan agar perkara segera bisa dilimpahkan dan masuk tahap persidangan.

"Saat ini sedang berjalan proses penyidikannya. Jadi perkara tidak hilang begitu saja, tidak. Karena tersangka sudah kita tahan. Kita tetap akan mempertanggung jawabkan secara hukum apa-apa yang sudah kita laksanakan,” kata Djuhandhani

Sebagai pengingat, Dito Mahendra sempat berstatus buron sebelum ditangkap di Bali pada 8 September. Dito merupakan tersangka kasus dugaan kepemilikan 9 senpi ilegal.

Adapun, senpi ilegal yang diduga milik Dito Mahendra antara lain, pistol jenis Glock 17, Revolver S&W, pistol Glock 19 Zev, dan pistol Angstadt Arms.

Kemudian senapan jenis Noveske Rifleworks, AK 101, senapan Heckler & Koch G36, pistol Heckler & Koch MP5, dan senapan angin Walther.

Dalam kasus ini, Dito Mahendra dipersangkakan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1951. Sehingga, terancam pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun.