Pemerintah Imbau Guru-Murid Kembali ke Sekolah Kala Perang Revolusi dalam Sejarah Hari Ini, 11 Oktober 1946

JAKARTA – Sejarah hari ini, 77 tahun yang lalu, 11 Oktober 1946, Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PPK), Raden Soewandi mengimbau seluruh guru dan murid yang berada di medan perang segera kembali ke sekolah. Hal itu diungkapnya lewat Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta.

Soewandi ingin rakyat Indonesia tetap tersentuh pendidikan. Sekalipun Perang Revolusi terjadinya. Sebelumnya, Belanda ingin menjajah Nusantara kembali. Segala macam elemen masyarakat melawan. Guru dan murid sekolah, utamanya.

Kaya raya dari menjajah sudah jadi tabiat Belanda sedari dulu. Belanda bak ketiban durian runtuh. Apalagi kala tanam paksa dilanggengkan di Nusantara. Utang luar negerinya lunas. Pun demikian dengan pembangunan di negeri Belanda pesat karena uang panas penjajahan.

Naluri menjajah itulah yang dilanggengkan kala Indonesia menyatakan diri merdeka pada 17 Agustus 1945. Belanda sudah kepincut menguasai Indonesia kali kedua. sebab, musuh besarnya, Jepang sudah menyerah.

Mereka mencoba menebar teror. Ajian itu dilakukan untuk memberikan perasaan tak aman bagi rakyat Indonesia. Belanda pikir siasat itu dapat membuat pemerintah Indonesia menyerah dan mengakui mereka sebagai penguasa.

Raden Soewandi yang pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PPK) era 1946-1947. (Wikimedia Commons)

Jauh panggang dari api. Keinginan Belanda yang datang dengan jubah Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) tak berjalan mulus. Teror yang diberikan justru membuat seisi Nusantara melawan. Rakyat Indonesia tak mau kembali diperas bak sapi perah oleh Belanda.

Perlawanan pun dikumandangkan. Segenap rakyat Indonesia memilih meninggalkan kesibukannya untuk melawan Belanda. Guru bahkan murid sekolah justru ikut berjuang. Kondisi itu membuat sektor pendidikan kelimpungan dan tak jalan.

Masalah itu membuat siapa pun Menteri PPK (kini: Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) di fase awal kemerdekaan tak efektif. Bahkan, kala tokoh bangsa silih berganti memegang kendali kursi Menteri PPK.

“Dalam Kabinet Siahrir I yang mulai bekerja tanggal 12 Maret 1946, pada mulanya jabatan Menteri PPK masih kosong. Barulah pada tanggal 29 Juni 1946 ditunjuk menteri baru, yakni Mohammad Sjafei. Akan tetapi, Sjafei tidak pernah menduduki jabatannya sebab ia tidak mungkin meninggalkan Sumatra Barat. Praktis vang bertindak sebagai Menteri PPK ialah T.S.G. Mulia yang sesungguhnya memegang jabatan sebagai Wakil Menteri PPK.”

“Dalam Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 sampai 26 Juini 1947) jabatan Menteri PPK dipegang oleh Mr. Soewandi. Pada masa Soewandi ini di Yogyakarta dibentuk suatu panitia yang bertugas meneliti dan merumuskam masalah-masalah pengajaran, yakni Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara,” terang Marwati Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (2008).

Suasana kala Perang Revolusi (1945-1949) di Indonesia. (Wikimedia Commons)

Kebanyakan guru maupun murid yang terjun membela negara dari penjajah Belanda nyatanya membawa masalah. Semuanya karena pendidikan adalah jurus ampuh jadi bangsa besar. Kekosongan itu dianggap tak baik bagi bangsa yang baru merdeka.

Menteri PPK, Soewandi pun ambil sikap. Ia memilih berpidato lewat corong RRI di Jakarta pada 11 Oktober 1946. Ia meminta kepada guru dan murid segera kembali dari medan laga untuk kembali ke sekolah. Mereka diminta untuk segera melanggengkan kembali aktivitas belajar-mengajar. Urusan perang biar diambil alih oleh pejuang lainnya.

“Tanggal 11 Oktober malam Menteri PPK, Soewandi berpidato di muka corong RRI Jakarta tentang pentingnya pendidikan rakyat dalam pembangunan. la menyerukan kepada para guru yang telah meninggalkan pekerjaannya karena berjuang di lapangan lain untuk kembali ke lapangannya semula, yaitu pengajaran.”

“Para murid yang berada di lapangan pertahanan hendaknya kembali juga meneruskan pelajaran mereka. Langkah itu harus dilakukan segera bila lapangan pertahanan telah teratur akibat penanganan badan yang bersangkutan,” terang Pramoedya Ananta Toer dalam buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid II (1998).