Bagikan:

TANJUNGPINANG - Peneliti Sejarah di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dedi Arman mengatakan, Sunaryo yang merupakan seorang polisi pejuang kemerdekaan asal Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri), sangat memungkinkan dan layak diusulkan menjadi pahlawan nasional.

"Sunaryo tewas dalam revolusi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Arman di Tanjungpinang, Antara, Minggu, 10 November. 

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepri melalui Dinas Sosial dapat mengusulkan Sunaryo sebagai pahlawan nasional kepada pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial.

Tapi sebelum usulan itu dibuat, kata dia, Tim Peneliti Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) harus melakukan kajian terlebih dahulu, baru disidangkan dan selanjutnya diusulkan ke Kementerian Sosial.

"Usulan itu kemudian dibahas lagi di tingkat pusat oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Nasional (TP2GN). Ini kewenangan Kementerian Sosial," ungkapnya.

Arman yang juga Dosen Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Riau Kepulauan Riau (UNRIKA) itu pun melanjutkan bahwa sampai saat ini belum ada pahlawan nasional zaman perang kemerdekaan RI dari Kepri.

Menurutnya, pahlawan nasional dari Kepri baru tercatat sebanyak tiga orang dan itu pun pada periode abad ke-18 dan 19, yaitu Raja Haji Fisabilillah, Raja Ali Haji, dan Sultan Mahmud Riayat Syah.

"Jadi tak ada salahnya Kepri kembali mengusulkan pahlawan nasional pada zaman perang kemerdekaan, seperti Sunaryo yang hari ini namanya diabadikan sebagai nama Jalan R. Sunaryo di Tanjungpinang," ujar Arman.

Sementara, menurut catatan Sejarahwan Kepri Aswandi Syahri yang menukil arsip nasional (Nationaal Archief, pen) Belanda di Den Haag. Sosok Sunaryo adalah seorang polisi yang bertugas di Tanjungpinang pada masa menjelang kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan RI.

Walau merupakan polisi kolonial Belanda, Sunaryo dikenal sebagai aktivis pendukung kemerdekaan RI. Ia bergabung dalam Gerakan Merah Putih (Rood Witte Beweging) dan termasuk penggerak di Badan Kedaulatan Indonesia Riouw (B.K.I.R.) di Tanjungpinang pada masa-masa awal diproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Aksi Sunaryo sering menjengkelkan pemerintah Belanda yang kembali mendatangi Tanjungpinang setelah proklamasi, sekitar awal Oktober 1945.

Sebuah arsip Belanda menyebut Sunaryo sebagai polisi pembangkang. Ia dilaporkan sering mengumpulkan ex giyutai (Tentara pembela pulau-pulau pada masa Jepang) di sebuah rumah makan di Tanjungpinang. Ia juga menjadikan rumah makan tersebut sebagai markas “Gerakan Merah Putih”.

Sunaryo yang tercatat juga sebagai guru di sekolah polisi Belanda di Tanjungpinang, sering menggunakan kewenangannya untuk menggelorakan semangat kemerdekaan dan menyebarkan sentimen anti Belanda kepada para siswanya.

Kekesalan pemerintahan Belanda di Tanjungpinang memuncak sekitar tahun 1946, ketika Sunaryo dilaporkan menggalang kekuatan 100 orang polisi bersenjata untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda yang merasa masih memiliki kekuasaan di Tanjungpinang.

Ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara Tanjungpinang yang pada masa itu disebut Benteng KNIL (sekarang menjadi komplek Rumah Sakit Angkatan Laut Tanjungpinang, pen) pada 3 Juli 1946, sekitar satu bulan sebelum peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia yang pertama.

Dalam status tahanan, ia meninggal dunia. Sebuah catatan arsip Belanda menyebut Sunaryo dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama Keyman Bruno dengan cara ditembak.

Sunaryo menjadi aktivis pejuang pertama di Tanjungpinang yang tewas dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.

Jasadnya dimakamkan di kampung bukit, Taman Bahagia, Tanjungpinang. Pada tahun 1975, jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Pusara Bakti di Kilometer 5, Tanjungpinang oleh Pemerintah Kabupaten Kepri.

Sebagai bentuk penghargaan terhadap jasanya terhadap negara, pemerintah menyematkan namanya sebagai nama jalan "Jalan R. Sunaryo"