Sejarah Pertamina: Bersinar dan Redup di Bawah Kuasa Ibnu Sutowo

JAKARTA - Pertamina dan Ibnu Sutowo adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Kedua saling berkaitan bagi tumbuh kembang industri perminyakan nasional. Sekalipun awalnya Sutowo sama sekali tak mengerti perminyakan.

Satu-satu yang Sutowo miliki adalah kepemimpinan yang cakap. Ia mampu mengubah bekas konsesi Bataafsche Petroleum Maatschappij yang sudah uzur jadi menguntungkan. Pertamina pun lahir karenanya. Ia mampu membawa Pertamina sukses untuk sementara waktu hingga redup karena korupsi setelahnya.

Keadaan ekonomi Indonesia era Orde Lama jauh dari kata baik-baik saja. Kondisi itu dianggap wajar karena umur Indonesia sebagai negara masih seumur jagung. Segala macam kebijakan serba tak terukur. Namun, sisi baiknya, semua orang terbuka peluangnya untuk membantu bangsa dan negara.

Ibnu Sutowo, misalnya. Ia diberikan mandat oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), A.H. Nasution untuk memimpin PT. Eksplorasi Tambang Sumatra Utara (perusahaan minyak bekas konsesi perusahaan Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij) pada 1957. Kemudian, perusahaan itu berubah nama dan dikenal luas menjadi Perusahaan Minyak Nasional (Permina).

Ia yang sama sekali tak memiliki pengalaman di dunia perminyakan menganggap penunjukan itu sebagai tantangan. Ia berpikir keras bagaimana kilang-kilang minyak yang dikelola Permina bisa untung besar. Perenungan Sutowo membawakan hasil.

Ibnu Sutowo dalam sebuah konferensi pers di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda pada 1966. (ANP/Cor Mulder) 

Langkah utama yang dilakukan Sutowo adalah membentuk staf yang terlatih. Ajian itu membawa hasil yang signifikan. Apalagi, Sutowo berhasil merekrut Mayor Johanes Marcus Pattiasina yang khatam tentang dunia perminyakan. Semua itu karena Pattiasina telah bekerja di perusahaan minyak era kolonial. Pengalaman itu dianggap Sutowo berguna untuk mengembangkan Permina.  

“Membangun PT. Permina pada hakekatnya berbicara soal cita-cita, soal ambisi. Permina dalam tahun 1957 hanyalah sebuah nama perusahaan minyak saja, dengan lapangan-lapangan tua dan terlantar, peralatan dan pabrik-pabrik yang hancur sebagai akibat perang dunia kedua, perang kemerdekaan dan pembrontakan. Suatu perusahaan dengan karyawannya yang terpecah-pecah oleh ideologi. Inilah wajah Permina.”

“Dengan modal demikian itu setapak demi setapak kami usahakan agar kekayaan nasional yang ada di Sumatra Utara dan Aceh segera ditarik manfaatnya. Dengan tenaga-tenaga tua dan peralatan yang ada, yang amat sederhana dan karatan, kami perbaiki apa yang dapat diperbaiki. Kami bersihkan apa yang kotor. Tujuan waktu itu mendapatkan minyak dan menjualnya. Tapi arah jalan ke situ panjang dan melelahkan. Tapi dengan semangat yang tidak padam, akhirnya kami capai cita-cita itu,” ungkap Ibnu Sutowo sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Saatnya Saya bercerita (2008).

Bersinar dan Redup

Kepempinan Sutowo membawa angin perubahan bagi Permina. Sekalipun pemerintahan Orde Lama telah digantikan Orde Baru. Prestasi itu membuat nama Sutowo bersanding dengan dua nama lainnya --Pattiasina dan Julius Tahija-- sebagai Tiga Serangkai peletak dasar perusahaan minyak nasional.

Ide-ide Sutowo untuk mengembangkan industri perminyakan nasional banyak diakomodasi oleh Orba. Semuanya karena jasa Sutowo membangun Permina dari nol. Ibnu pun memiliki rencana bahwa seluruh perusahaan minyak yang dikelola pemerintah dirampingkan menjadi satu saja. Supaya lebih efisien, katanya.

Gayung pun bersambut. Nyatanya Orba memiliki pikiran yang sama dengan Sutowo. Menteri Pertambangan Indonesia, Soemantri Brodjonegoro langsung mengusulkan hal itu kepada Presiden Soeharto.

Ia mengusulkan Permina dan PN Pertamin digabung jadi satu menjadi Perusahaan Negara (PN) Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Usulan itu diterima The Smiling General. Pertamina pun secara resmi hadir 20 Agustus 1968. Soeharto menunjuk Ibnu Sutowo sebagai Direktur PN (belakangan dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara: BUMN) Pertamina.

Sutowo membalas kepercayaan Soeharto dengan prestasi. Pertamina berubah menjadi salah satu BUMN raksasa di eranya. Bahkan, Sutowo mulai berpikir untuk melebarkan lini bisnis Pertamina. Ia tak mau Pertamina jalan ditempat. Apalagi mengandalkan ‘kolam’ perminyakan belaka.

Kantor Pusat Pertamina di Jl. Medan Merdeka Timur, Jakarta. (Wikimedia Commons)

Ia dan Pertamina mulai melirik bisnis perhotelan, asuransi, hingga biro perjalanan. Ajian dianggap revolusioner itu belakangan membawa petaka bagi Pertamina pada era 1970-an. Kondisi itu semakin parah seiring gaya hidup mewah petinggi Pertamina dipertontonkan di muka umum.

Semenjak itu tiada perubahan yang dilakukan Pertamina. Petinggi Pertamina, utamanya Sutowo kerap mencampurkan urusan pribadi dengan Pertamina. Isu korupsi Sutowo dan kroninya merebak ke mana-mana. Alhasil, banyak di antara keuntungan Pertamina masuk ke kocek pribadi.

Pertamina kena getahnya. Utang Pertamina menumpuk dan mencapai 10,5 miliar dolar AS. Suatu jumlah yang cukup besar. Desakan Sutowo mundur bergaung di mana-mana. Keinginan itu kemudian direalisasikan Soeharto dengan memecat Sutowo pada 1976 untuk meredam emosi segenap rakyat Indonesia.

Pengeboran minyak lepas pantai milik Pertamina. (bumn.info)

“Selama menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina dari 1968-1976, Ibnu Sutowo mendukung pertumbuhan sektor jasa perminyakan Indonesia dengan dua cara. Pertama, dengan mendirikan kemitraan bersama antara Pertamina dan para pengusaha asing yang menghasilkan alat-alat untuk eksplorasi dan produksi.”

“Kedua, tujuan utama perusahaan perusahaan migas asing yang masuk ke Indonesia tersebut digiring Ibnu Sutowo untuk mengeksploitasi sumber kekayaan minyak bumi di Indonesia demi mendapatkan keuntungan (profit) bagi Indonesia (walaupun dalam kenyataannya keuntungan itu diarahkan masuk ke kantong penguasa, Ibnu Sutowo dan kroni-kroninya). Tidak saja berhenti untuk mendapatkan keuntungan, tetapi lebih jauh lagi bertujuan untuk menumpuk keuntungan,” terang Ismantoro Dwi Yuwono dalam buku Mafia Migas VS Pertamina (2014).