Asa Candler Pemilik Coca Cola Menciptakan Berkah yang Kita Sebut Diskon

JAKARTA - Bagi konsumen, konsep potongan harga atau diskon adalah berkah. Bagi pengusaha, diskon adalah salah satu strategi pemasaran. Kerap berhasil, diskon bahkan dijadikan strategi menjual banyak hal, entah barang ataupun jasa. Atas konsep diskon inilah, tidak ada mimpi yang begitu besar. Kiranya, pesan itulah yang ingin diucap oleh pengusaha Atlanta, Amerika Serikat (AS), Asa Candler pada 1887. Di tangannya, kupon diskon pertama di dunia lahir.

Candler yang juga tercatat sebagai pemilik perusahaan minuman ringan, Coca-Cola Company ingin segera menaikkan angka pemasaran produknya. Untuk itu, Candler mulai memikirkan strategi yang tepat untuk promosi. Setelah pergelutan panjang, akhirnya terlintas ide untuk melakukan teknis penjualan sederhana, yakni membuat sebuah kupon.

Kata kupon sendiri diambil oleh Candler dari bahasa prancis: Couper, yang berarti memotong. Untuk itu, kupon Coca-Cola yang dibagikan secara gratis pun lahir, sekaligus menjadi awal munculnya konsep diskon. Seperti dilansir Cuoponsherpa, untuk mengedarkan kupon, Candler membagikan kupon tersebut di jalanan Atlanta. Sisanya, Candler mengirimkan kupon lewat pos dan sebagiannya lagi kupon dibagikan lewat majalah. Tak disangka, teknik sederhana ala Candler pun berhasil. Dalam dua dekade, kupon telah diakses oleh 8,5 juta konsumen Coca-Cola.

Kupon Coca Cola (Sumber: Commons Wikimedia)

Pencapaian itulah yang membuat Coca-Cola mulai merambah dan mengusai pasar penjualan dunia. Semua itu lagi-lagi, berkat ide dari Candler. Saking tenarnya, Candler pun mulai menyesuaikan beragam bentuk kupon. Entah itu kupon dari yang menawarkan Coca-Cola secara gratis hingga memberikan potongan harga. Yang mana, hal itu menyesuaikan dengan nilai mata uang di masing-masing negara. Tujuannya jelas, supaya Coca-Cola Company dapat meraup keuntungan yang maksimal.

Perlahan-lahan, teknik kupon potongan harga yang dikembangkan oleh Candler, mulai menginspirasi perusahaan lainnya melakukan hal yang sama. Puncaknya, penggunaan diskon mencapai puncak kejayaannya pada saat dunia dilanda krisis ekonomi pada 1930. Lengkapnya pernah kami ulas dalam tulisan “Letusan Merapi Penanda Resesi dan Sawah-Sawah yang Tak Berharga”.

Oleh karena daya beli masyarakat dunia yang rendah. Hadirnya kupon diskon tak ubahnya menjadi sebuah harapan untuk menyambung hidup di tengah krisis ekonomi. Lantas, dengan sendirinya, ekonomi kemudian meningkat. Lantaran itulah, ragam produk ataupun jasa dapat bertahan ditengah krisis ekonomi.

Kepopuleran kupon diskon terus berlanjut. Sepuluh tahun setelah krisis ekonomi, tak cuma produsen-produsen besar yang memakai teknik pemasaran kupon diskon. Toko-toko kecil di pusat perbelajaan mulai mengadopsi kupon diskon untuk meningkat penjualannya. Oleh sebab itu, tak cuma Coca-Cola saja yang terkena dampak dari berhasilnya teknik diskon, malahan ratusan hingga ribuan produk lainnya ikut kecipratan untung dari teknik yang diciptakan oleh Asa Candler. Namun, tak melulu semuanya berhasil, bahkan yang gagal pun lebih banyak.

Diskon tak selalu jadi solusi

Asa Candler (Sumber: Commons Wikimedia)

Berkat teknik diskon yang diciptakan oleh Asa Candler, gema kupon diskon juga merambah Indonesia. Diskon pun tak cuma berlaku bagi para perusahaan besar ataupun pelaku bisnis (skala kecil, menengah, atau besar), pemerintah Indonesia pun turut mengadopsi teknis diskon dalam memperkenalkan dan memasarkan pariwisata unggulan yang ada di bumi Nusantara.

Tak pelak, sekalipun industri pariwisata tampak amburadul diterjang badai pandemi COVID-19, diskon tiket justru diberikan untuk penerbangan domestik. Empunya kebijakan berharap dengan adanya diskon sepuluh wisata unggulan Indonesia mulai dari Pulau Seribu (DKI Jakarta) hingga Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur) dapat ramai kembali.

"Kita sudah memutuskan memberikan subsidi 50 persen kepada 10 destinasi wisata supaya daerah-daerah seperti Bali, Jogjakarta, Sulawesi Utara, Bintan, Tanjung Pinang dan lainnya yang tadinya turis-turis dari China diganti dengan turis lokal,” kata Menteri Perhubungan, Budi Karya pada Februari lalu, dikutip dari Kompas.com, Rabu, 11 November.

Nyatanya, diskon tak melulu jadi solusi. Memajukan pariwisata tanpa memikirkan sektor keamanan jadi masalah yang berimbas pada semakin lesunya pariwisata. Bukan malah untung tapi buntung. Dikutip dari Bandung Mawardi dalam buku Omelan: Desa, Kampung, Kota (2019), langkah pemerintah memberantas segala bentuk kelesuhan dengan diskon sudah mendarah daging, bahkan di pemerintah daerah. Pemerintah Kota Solo, Jawa tengah misalnya.

“Kota lesu diberantas dengan diskon. Konon, Solo sering lesu saat Februari, mempersembahkan seember sedih bagi pengusaha dan pemerintah. Mereka mufakat mengubah lesu dengan ramai. Oh, ramai berarti belanja. Tempat-tempat usaha sedang bercap diskon atau dolanan persen. Orang berkunjung ke Solo bakal dihantam nalar persen dan kata terampuh bagi orang suka belanja: diskon. Solo, kota diskon. Solo, kota berpamrih memberi harga murah. Belanjalah! Belanjalah!” tulis Bandung Mawardi.

Meski begitu, empunya tulisan menyadari perihal diskon memang kadang kala membawa keuntungan. Kendati demikian, narasi keuntungan yang didapat hanya bersifat sementara saja. Boleh jadi, seseorang menjadi “manusia diskon” hanya dalam durasi selama sebulan saja. Setelah mengetahui apa yang dibeli atau jasa yang digunakan tak memiliki asas manfaat, maka orang-orang akan merana dan mengingat sesal seumur hidup.

“Orang-orang dibujuk memimpikan hadiah (kupon diskon) dengan menjalankan ketentuan: belanja. Peristiwa belanja pun dihitung jumlah rupiah. Belanja itu rumit. Belanja malah direstui para pejabat di Jawa Tengah. Ganjar Pranowo mengatakan: memberikan potongan harga untuk mendongkrak ekonomi merupakan langkah berani. Gubernur lupa jika ada orang malas belanja dan malu pada hadiah itu berani. Begitu,” tambahnya.

Pada akhirnya, teknis kupon diskon yang awalnya membawa keuntungan di pada masa lalu, belum tentu ampuh di masa kini. Karena itu, jadilah konsumen cerdas. Yakni, konsumen yang mampu melindungi dirinya dari barang atau jasa yang merugikan.