Hari Keluarga Nasional Diinisiasi Presiden Soeharto pada 29 Juni 1993
JAKARTA - Laju peningkatan pertumbuhan penduduk tak selamanya dianggap keberhasilan. Banyak anak, banyak rejeki pun tak sepenuhnya benar. Presiden Soeharto meyakini hal itu. Jika tidak, pembangunan yang direncanakan akan tiada dampaknya. Karenanya, tingkat kelahiran harus ditekan sampai batas minimum. Program Keluarga Berencana (KB) pun dijadikannya ajian Orde Baru. Siasat itu berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk. Sebagai selebrasi, Soeharto menginisiasi Hari Keluarga Nasional, 29 Juni 1993.
Fokus pemerintah pada awal mula Indonesia merdeka adalah membangun negara baru. Segala bentuk upaya persoalan ekonomi dan politik jadi suatu hal yang paling penting. Urusan lainnya, termasuk pertumbuhan penduduk belum menjadi fokus utama pemerintah. Pun orang nomor satu Indonesia menyakini seluruh penduduk Indonesia dapat hidup tenang dan damai.
Optimisme itu terus dipupuk oleh Bung Karno. Namun, bukan berarti Bung Karno tak peduli. Ia tetap mendukung adanya agenda untuk menekan tingkat kelahiran. Dukungannya terlihat ketika Dokter Julie Sulianti Saroso mulai mengkampanyekan program Keluarga Berencana pada 1957. Sekalipun tak dengan masif.
Atensi tinggi pemerintah terhadap program KB baru terlihat ketika Soeharto berkuasa menggantikan Bung Karno. Ia menganggap serius program KB. Menahan laju tingkat kelahiran dianggapnya adalah masalah darurat. Sebab, pertumbuhan penduduk justru lebih cepat, dibanding kemampuan pemerintah untuk melanggengkan program pembangunan.
Lebih lagi, jika tingkat kelahiran tak ditekan, segala bentuk rencana pembangunan yang dilakukan pemerintah atas nama kesejahteraan rakyat akan terasa percuma. Soeharto lalu terang-terangan mendukung program KB. Olehnya, pemerintah Orba bersiap membantu, mendukung, dan melindungi jalannya program KB di Indonesia pada 1968.
“Guna lebih memantapkan pelaksanaan KB, pada 1970 didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pada akhir Pelita V (1993) laju pertumbuhan penduduk berhasil ditekan menjadi 1,66 persen, dan angka kematian kasar menurun menjadi 7,9 per 1000 penduduk. Program KB yang berdampak pada penurunan angka kelahiran kasar dari 44,0 kelahiran per 1000 penduduk pada tahun 1971 menjadi 24,5 kelahiran per 1000 pendudukan pada tahun 1993.”
“Keberhasilan program kependudukan dan KB di Indonesia diakui oleh dunia internasional dan sekali lagi meraih penghargaan dari PBB berupa The United Nations Population Award pada tahun 1989 yang diterima langsung oleh Soeharto. Bantuan internasional mengucur deeras, mengalir sampai jauh entah ke mana,” ungkap Web Warrouw sebagaimana ditulis Sugiono M.P. dalam buku Selamat Jalan Pak Harto (2008).
Hari Keluarga Nasional
Keberhasilan program KB membuat Soeharto tak melulu banjir pujian, tapi juga banjir kritikan. Empunya pemerintahan dituduh tak berhasil. Sebab, banyak data yang jauh dengan realita di lapangan. Apalagi di sekeliling Soeharto banyak di antara pejabat negara yang berlaku Asal Bapak Senang (ABS).
Soeharto pun menganggap sepi hal itu. Sebab, PBB yang notabene perkumpulan negara di dunia telah melegitimasi keberhasilannya. Jejak-jejak keberhasilan itu membuat Soeharto menggalakkan program lainnya, yakni pembangunan keluarga yang sehat, bahagia, dan sejahtera.
Buahnya, The Smiling General mencanangkan Hari Keluarga Nasional di Lampung pada 1993. Program ini dibuat karena Soeharto telah melihat tiap keluarga di Indonesia telah mampu membangun keluarganya sendiri dengan cara berkelanjutan.
Hari Keluarga Nasional dielu-elukan Soeharto sebagai sarana memperbaharui tekad. Suatu tekad untuk membangun keluarga masing-masing menjadi keluarga yang sehat dan sejahtera. Lagi pula, keluarga adalah kesatuan terkecil dari masyarakat.
Karena itu, ketika tiap orang berhasil membina keluarganya, maka akan memunculkan suatu masyarakat yang sejahtera. Pun bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera.
Penetapan tanggal 29 Juni 1993 juga tak kalah spesial. Tercatat, Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara utuh pada 22 Juni 1949. Seminggu kemudian, para pejuang kemerdekaan yang ikut angkat senjata mulai kembali kepada keluarga masing-masing pada 29 Juni 1949. Momentum kepulangan mereka itu dijadikan sebuah tanggal penting, Hari Keluarga Nasional.
“Pelaksanaan pembangunan berbasis keluarga ini pada akhirnya mendapat dukungan Soeharto dengan méluncurkan peringatan Hari Keluarga Nasional pada 29 Mei 1993. Hal tersebut tidaklah terlepas dari maraknya Program Keluarga Berencana ketika 1980 yang menghantarkan Soeharto sebagai seorang presiden mendapat penghargaan dari PBB pada tahun 1989.”
“Namun dalam pertumbuhan dan perkembanganya memasukin tahun 1990an mulai munculnya isu menganai hak-hak asasi manusia dengan munculnya UU No.39 Tahun 1999,” tutup Ardian Fahri dalam buku Refleksi Pemikiran Tokoh dalam Membangun Indonesia (2022).
Baca juga:
- Sejarah Hari Ini, 211 Tahun Lalu: Akhir Kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels di Nusantara pada 29 Juni 1811
- Gubernur Ali Sadikin dan Hiburan Malam di DKI Jakarta
- Sekolah Eropa untuk Etnis China Diusulkan Belanda dalam Sejarah Hari Ini, 28 Juni 1907
- Tanam Ganja untuk Obat Istri: Upaya Fidelis Selamatkan Nyawa Berujung Penjara pada 2017