Badai Geomagnetik Tak Hanya Ancam Satelit SpaceX, Tapi Juga Bumi
JAKARTA - Badai geomagnetik saat ini menjadi ancaman terbesar bagi satelit milik SpaceX, Starlink yang baru-baru ini diluncurkan ke orbit. Sebanyak 49 satelit terdampak dalam peristiwa tersebut.
“Badai-badai ini menyebabkan atmosfer menghangat dan kepadatan atmosfer di ketinggian penyebaran kami yang rendah meningkat. Tim Starlink memerintahkan satelit ke mode aman di mana mereka akan terbang (seperti selembar kertas) untuk meminimalkan hambatan,” ungkap SpaceX.
Faktanya, 40 satelit tidak pernah keluar dari mode aman dan, diperkirakan akan jatuh ke atmosfer Bumi. Meskipun insiden ini hanya merupakan kemunduran kecil bagi SpaceX, tak sebanding dengan tujuannya untuk mengubur planet ini bersama lebih dari 42.000 perangkat pemantul sinyal, tetapi badai geomagnetik menimbulkan ancaman berkelanjutan bagi infrastruktur kelistrikan dunia.
Badai tersebut mengganggu sinyal siaran dan telekomunikasi, merusak jaringan listrik, mengganggu sistem navigasi global. Bahkan memaparkan astronot dan penumpang pesawat dengan dosis radiasi matahari yang berbahaya.
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mendefinisikan badai geomagnetik sebagai gangguan besar magnetosfer Bumi yang terjadi ketika ada pertukaran energi yang sangat efisien dari angin matahari ke lingkungan luar angkasa di sekitar Bumi.
Pada dasarnya, ketika Matahari mengeluarkan ledakan besar berupa angin matahari, ia bergerak melalui ruang angkasa dan menabrak cangkang magnet Bumi di mana semua energi itu masuk ke medan magnet planet, menyebabkan kekacauan listrik sambil membuat sekelompok atom di hulu.
Perubahan dalam struktur dan kepadatan ionosfer Bumi akibat badai matahari dapat mengganggu dan langsung memblokir transmisi radio frekuensi tinggi dan satelit frekuensi ultra tinggi. Sistem navigasi GPS juga rentan terhadap gangguan selama peristiwa ini.
Bagaimana Mendapatkan Peringatan Dini dari Badai Geomagnetik?
Melansir Engadget, Kamis, 17 Februari, guna memperpanjang waktu antara letusan matahari dan angin yang dihasilkannya menghantam magnetosfer, peneliti Universitas Michigan, Gabor Toth, dan timnya telah bekerja untuk mengembangkan Model Geospace versi 2.0 menggunakan komputer canggih, sistem pembelajaran dan skema analisis statistik.
Dengan itu, para astronom dan operator jaringan listrik diberikan peringatan awal selama 30 menit sebelum angin matahari mencapai planet ini, waktu yang cukup untuk menempatkan sistem kelistrikan vital ke mode siaga atau mengurangi dampak badai.
Baca juga:
- Pertemuan Menteri Uni Eropa Sepakat Bangun Konstelasi Satelit Demi Kedaulatan Teknologi
- VW Memperkirakan Teknologi Mobil Otonom Terus Berkembang dalam 25 Tahun ke Depan
- Teknologi Pelacakan Iklan Google Akan Tetap Hidup Hingga 2024, Ini Alasannya
- Spotify Akuisisi Podsights dan Chartable untuk Lebih Efektif dalam Penetrasi Iklan
"Kami mengandalkan data sinar-X dan UV dari satelit yang mengukur parameter plasma satu juta mil jauhnya dari Bumi. Dari titik itu, kami dapat menjalankan model dan memprediksi waktu kedatangan dan dampak peristiwa magnetik,” jelas Toth.
Begitupun dengan NASA, yang juga telah mengembangkan dan meluncurkan sejumlah misi dalam beberapa tahun terakhir untuk lebih memprediksi perilaku kacau bintang lokal kita.
Pada 2006 misalnya, badan antariksa itu meluncurkan misi Solar TErrestrial RElations Observatory (STEREO) di mana sepasang observatorium mengukur aliran energi dan materi dari Matahari ke Bumi.
Saat ini, NASA sedang mengerjakan dua misi lagi, yakni Multi-slit Solar Explorer (MUSE) dan HelioSwarm untuk lebih memahami koneksi Matahari-Bumi.
“MUSE dan HelioSwarm akan memberikan wawasan baru dan lebih dalam tentang atmosfer matahari dan cuaca luar angkasa. Misi ini tidak hanya memperluas ilmu misi heliofisika kami yang lain, mereka juga memberikan perspektif unik dan pendekatan baru untuk memahami misteri bintang kita," tutur Administrator asosiasi untuk sains di NASA, Thomas Zurbuchen.