Peran Besar Sultan Hamengkubuwono IX saat Ibu Kota Negara Pindah ke Yogyakarta
JAKARTA - Proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan penuh suka cita. Segenap rakyat Indonesia merayakannya. Tapi tidak untuk Belanda. Negeri Kincir angin punya pikiran lain. Proklamasi justru dianggap jalan menjajah Indonesia untuk kali kedua. Pasukannya didaratkan. Jakarta pun dikepungnya. Demi keamanan, Ibu Kota Negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono IX jadi orang yang berjasa. Ia menyediakan segalanya. Dari biaya operasional, gedung, hingga gaji pegawai.
Lepas dari segala bentuk belenggu penjajahan adalah impian segenap rakyat Indonesia. Tiada yang tahan dengan kolonialisme. Sebab, rakyat Indonesia hanya dijadikan “sapi perah” oleh penjajah. Kekayaan bumi pertiwi diambilnya, sedang rakyat hanya mendapat ampasnya.
Semenjak itu semua sepakat Indonesia butuh kemerdekaan. Merdeka jadi harga mati. Apapun caranya. Keinginan itu terjawab saat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebuah hari bersejarah yang kemudian disambut dengan penuh kegembiraan dan suka-cita.
Nyatanya, Negeri Belanda menganggap sepi saja peristiwa bersejarah tersebut. Belanda justru berpikir sebaliknya. Proklamasi kemerdekaan diyakini sebagai jalan Belanda untuk kembali menjajah Nusantara. Apalagi Jepang sudah kehilangan kuasanya. Belanda pun memainkan aksi teror.
Pendaratan pasukan dengan panji Netherland Indies Civil Administration (NICA) ke Jakarta jadi ajiannya. Pengiriman pasukan itu dilakukan secara masih. Kedatangan pasukan NICA turut pula membonceng tentara sekutu, Inggris. Tindakan Belanda laksana bukti mereka memiliki keinginan untuk menggulingkan dan mengembalikan Indonesia ke status negara jajahan.
“Provokasi oleh pasukan Belanda: pendaratan mereka tanpa henti di bawah perlindungan Inggris; maupun pernyataan-pernyataan yang kurang tegas oleh Inggris, memperlihatkan kepada banyak orang Indonesia bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia sedang ditantang dan reaksi tajam mereka sedang dipancing. Jibakutai (pasukan bunuh diri Jepang) tidak dapat ditahan lagi. Unit-unitnya dibagi-bagi lagi menjadi kelompok tempur berskala lebih kecil.”
“Diikuti oleh berbagai untuk pemuda bersenjata, mereka mengadakan serangan keras terhadap patroli Belanda dan Inggris. Dalam beberapa kasus, umumnya ketika Barisan Pelopor terlibat, sasaran dari serangan keras itu tidak lagi terbatas kepada pasukan asing, tetapi meluas hingga kepada tahanan sipil Belanda, termasuk perempuan dan anak-anak. Secara bersamaan, semua unit orang Indonesia bersenjata meningkatkan usaha mereka untuk merebut senjata dan kekuasaan dari Jepang,” ungkap George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia (2013).
Suasana Jakarta penuh dengan bahaya. Kehidupan para pemimpin bangsa ikut terancam. Mereka bisa saja terbunuh oleh oleh serdadu NICA. Sebagai strategi, NICA juga mempersenjatai bekas serdadu-serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang keluar dari kamp tahanan Jepang.
Karenanya, berita pertempuran antara pemuda Indonesia dengan NICA makin banyak. Terutama berita terkait kekejaman NICA. Berita itu menyeruak ke permukaan. Penyiksaan dan pembunuhan halal di mata NICA. Bahkan, NICA tak saja mencoba melumpuhkan pejuang kemerdekaan, tapi juga menyasar rakyat biasa. Belum lagi, NICA sering kali merampas harta benda rakyat Indonesia. Dari uang hingga makanan.
Kebiadaban serdadu NICA sampai kepada telingga segenap pemimpin Indonesia. Soekarno, misalnya. ia tak mau gegabah dengan memaksakan pusat pemerintahan atau Ibu Kota Negara tetap berada di Jakarta. Bung Besar paham benar jika kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia takkan cukup menandingi NICA. Opsi satu-satunya yang masuk akal adalah memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Demi keamanan, pikirnya.
“Dalam pada itu keadaan di Jakarta sudah begitu gawat sehingga aku tidak bisa lebih lama lagi tinggal di situ. Tanpa kesatuan polisi yang kuat, kami tak dapat menandingi NICA. Ini bukan soal kehidupan dari pemimpin negara, melainkan kehidupan dari negara seluruhnya berada dalam bahaya. Di petang hari tanggal 3 Januari 1946 aku memberi tahu para menteri, pengawal, dan pembantu-pembantu yang setia: kedudukan pemerintahan harus dipindahkan ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda sehingga kita dapat mendirikan benteng republik.”
“ Yogyakarta, atau yang populer dengan nama Yogya, memenuhi kebutuhan ini. Yogyakarta juga merupakan pusat dari Jawa. Keputusan telah diambil. Kita akan pindahkan ibu kota besok malam. Tidak seorang pun saudara-saudara boleh membawa harta-benda, aku mengingatkan. Aku juga tidak. Tidak ada waktu untuk mengepak perabot rumah tangga atau memindahkan harta benda. Selain itu saudara-saudara berada di dekatku, jadi saudara-saudara selalu diawasi,” cerita Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Peran Sang Raja
Perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sialnya, Indonesia kala itu belum memiliki kas negara. Pun karena perpindahan ibu kota hanya bermodal semangat tidak mau di jajah kembali oleh Belanda. Lagi pula, sederet pemimpin bangsa, seperti Soekarno dan Sutan Sjahrir makin terancam hidupnya karena jadi incaran NICA.
Kekalutan itu akhirnya dapat dipecahkan. Sri Sultan Hamengkubuwono IX setuju ide Bung karno supaya Yogyakarta menjadi Ibu Kota Negara. Sultan Yogyakarta itu sendiri yang bertindak menyambut rombongan Soekarno-Hatta dan para Menteri Kabinet Indonesia di Stasiun Tugu.
Bahkan, segala macam perlengkapan perangkat pemerintahan telah disiapkan olehnya. Supaya Indonesia tetap eksis sebagai negara. Karenanya, sejak 4 Januari 1946, Ibu Kota republik Indonesia resmi pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
“Pada bulan Januari 1946, ibu kota pemerintahan Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Sultan Hamengkubuwono IX secara resmi menyambut sendiri kedatangan Bung Karno dan rombongan di Stasiun Tugu. Sejak saat itu, dengan segera Yogyakarta menjadi ibu kota revolusioner yang dengan semarak perjuangan mempertahankan kemerdekaan.”
“Hamengkubuwono IX sebagai tuan rumah, juga menyiapkannya dengan sepenuh dan setulus hati. Ia harus mengeluarkan harta-harta kerajaan yang tersimpan dalam peti-peti yang berisi uang perak dan gulden untuk dijadikan bekal operasional pemerintahan, menggaji para pegawai pemerintah. Tak hanya itu, gedung-gedung kerajaan disiapkan sebagai kantor-kantor administrasi dan keperluan lainnya,” terang S.D. Darmono dalam buku Building A Ship While Sailing (2018).
Peranan Sultan Hamengkubowono IX semasa Yogyakarta jadi Ibu Kota negara turut dirasakan oleh segenap pegawai pemerintahan dan pejuang revolusi. Hoegeng Imam Santoso, salah satunya. Kebetulan Hoegeng sebelum menjadi Kapolri pernah bertugas sebagai polisi juga pejuang revolusi di Yogyakarta, tepat ketika masa Revolusi.
Ia kala itu acap kali mendapatkan tugas dari Kapolri pertama Jenderal Raden Said Soekanto untuk berurusan dengan Sultan Hamengkubuwono IX.Pertemuan demi pertemuan itu membuat keduanya akrab. Sultan Hamengkubuwono IX respek padanya. Demikian pula sebaliknya. Semenjak itu Hoegeng –yang kemudian terkenal sebagai Kapolri juga polisi jujur—mengatahui bahwa Sultan Hamengkubuwono orang yang ramah dan tulus.
Ketulusan itu terlihat kala kondisi Yogyakarta sedang tidak baik-baik saja. Ibu Kota Negara sedang dibombardir oleh NICA pada saat Agresi Militer Belanda II. Pejuang Republik otomatis tak menerima gaji karena para pemimpin bangsa telah diasingkan Belanda ke Pulau Bangka dan Brastagi. Kondisi itulah yang membuat Sultan Hamengkubuwono IX turun tangan. Ia sering membantu ekonomi dari pejuang revolusi seperti Hoegeng.
“Namun ada salah satu hal yang tak terlupakan di zaman Agresi Militer II di Yogyakarta itu bagi kami sekeluarga. Dan agaknya juga bagi pejuang Republik yang tinggal dalam kota Yogya! Soalnya saya tidak menerima gaji lagi berhubung keadaan yang kacau balau, apalagi para pejabat tinggi negara pada ditawan di Pulau Bangsa dan Brastagi! Untuk makan saya sehari-hari saya bekerja di Restoran Pinokio. Dan Mery (istri Hoegeng) harus berjualan sate dan makanan lain di sana juga. Kehidupan amat sulit.”
“Namun suatu hari datanglah seseorang mengantarkan uang ke rumah. Jumlahnya besar juga 12,50 gulden, maklumlah mata uang NICA yang tinggi nilai tukarnya. Namun uang gulden itu diberikan dalam bentuk uang koin semua! Oleh pengantar ditambahkan, bahwa itu: uang dari Sultan,” tutup Hoegeng Imam Santoso sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya