Elite Sejahtera, Petani Sengsara: Kilas Balik Tanam Paksa Zaman Belanda
JAKARTA - Pandangan pemerintah kolonial Belanda terhadap petani bumiputra tak pernah baik. Namun semua berubah kala Johannes Van Den Bosch menjabat Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1830-1834). Di matanya, kaum tani punya potensi lebih. Kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) jadi cara Belanda memanfaatkan petani bumiputra untuk keuntungan lewat segala bentuk komoditas yang dipanen. Sayang, bagi petaninya sendiri mereka sengsara.
Berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) membawa duka nestapa bagi kedua pihak. Pihak bumiputra kehilangan sosok pemimpin kharismatik, Pangeran Diponegoro. Di Pihak Belanda, dampak perang membuat keuangan negara jatuh pada level terendah.
Tak Cuma di Jawa tapi juga di Belanda. Pemerintah Kolonial langsung putar otak. Segala solusi mulai diuji dalam perdebatan. Tujuannya adalah strategi agar Belanda dapat memulihkan keuangan akibat utang-utang yang ditinggalkan maskapai dagang Belanda, VOC.
Johannes Van Den Bosch muncul laksana pahlawan. Di tengah kebimbangan Belanda, ia mencoba menawarkan pandangan berbeda terkait pentingnya petani bumiputra. Ketika orang Belanda umumnya menganggap rendah kaum tani bumiputra dengan sebutan bodoh hingga malas. Tak demikian dengan Van Den Bosch.
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda berpikir sebaliknya. Kaum tani bumiputra dipandangnya justru sebagai kunci kemajuan Belanda di masa depan. Mereka punya kekuatan besar karena Pulau Jawa memiliki lahan yang luas untuk ditanami.
“Dia yakin bahwa penduduk Kepulauan Indonesia, betapapun ingin mereka, terlalu tidak berpengetahuan untuk mencapai kemajuan ekonomi tanpa bantuan. Mereka harus dibimbing oleh penguasa, dan mereka harus diajar untuk bekerja, dan kalau tidak mau belajar, mereka harus dipaksa kerja. Membandingkan standar penghidupan petani Jawa dengan kaum papa di Belanda, Van Den Bosch berkesimpulan bahwa penghidupan petani Jawa jauh lebih baik.”
“Karena itu, kalau pemerintah ‘mengorganisasikan’ pertanian Jawa untuk mengangkatnya ke tingkat lebih tinggi, ia sekedar melaksanakan kewajibannya. Di samping berbagai keuntungan lain, penerapan rencana ini akan memampukan pemerintah menyeimbangkan neraca anggarannya, baik di Eropa maupun di Hindia. Dari teori-teori ini muncullah apa yang disebut: sistem kultur (Cultuurstelsel),” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (1961).
Cultuurstelsel atau yang biasa disebut sistem tanam paksa mulai diberlakukan di Nusantara pada 1830. Kebijakan ini diyakini sebagai cara memperoleh keuntungan dari kaum petani Jawa lewat berbagai mekanisme yang mewajibkan mereka membudidayakan tanaman ekspor.
Demi menyukseskan agenda tanam paksa, kaum priayi dilibatkan untuk mengawal keberlangsungan sistem. Kaum priayi jadi yang paling diuntungkan ketika jumlah hasil panen petani meningkat.
Kebijakan ini kemudian dilanggengkan oleh penerus Van Den Bosch, dari 1830 sampai 1870. Keuntungan melimpah didapat oleh Belanda, sesuai prediksi Van Den Bosch. Anggaran belanja pemerintah kolonial Hindia-Belanda jadi seimbang. Pun dengan seluruh utang-utang VOC, yang dapat segera dilunasi berkat hasil tanam paksa.
Keuntungan itu juga dikirim ke Negeri Kincir Angin. Dalam kurun waktu 1831-1837, pemerintah kolonial telah mengirim sebanyak 832 juta gulden. Jumlah itu makin tahun, makin meningkat. Setelahnya, Belanda menggunakan uang hasil tanam paksa membuat jalan-jalan kereta api, pelabuhan, dan pusat industri.
“Pendapatan tersebut telah membuat perekonomian Belanda lebih stabil dan semua utang dapat dilunasi, pajak-pajak diturunkan, berbagai kubu pertahanan dibangun. Demikian juga berbagai kanal dan jalan kereta api negara dibangun di seluruh negeri Belanda. Semuanya itu dilakukan dengan menggunakan keuntungan yang diperoleh dari hasil pemerasan keringat para petani Jawa,” tulis Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008).
Sengsaranya petani
Cultuurstelsel dalam teorinya dapat membawa manfaat kepada semua pihak, terutama kaum tani. Namun dalam praktiknya berbeda. Konsep yang awalnya digadang-gadang Van Den Bosch membawa kesejahteraan kepada semua pihak justru menyengsarakan kaum tani. Padahal, kaum tani adalah elemen penting dari cultuurstelsel. Tapi yang Belanda beri bonus justru para priayi.
Tiap keuntungan yang dihasilkan dari kebijakan itu, para priayi mendapatkan cultuurprocenten, yakni uang tambahan sesuai dengan naiknya penghasilan perkebunan sistem tanam paksa di daerah mereka.
Dengan keuntungan itu, mereka mendapatkan uang yang cukup untuk menyelenggarakan pesta, beristri lebih dari satu, dan hidup bermewah-mewahan. Satu-satunya kelompok yang paling menderita adalah kaum tani.
“Van Den Bosch adalah perencana sistem tanam paksa yang menjadikan Pulau Jawa perkebunan kolonial. Dalam sistem ini, petani diharuskan menyerahkan sebagaian tanahnya untuk perkebunan ekspor, dan tenaganya untuk produksi itu. Kerja petani di perkebunan tidak dibayar, tapi sebagai gantinya mereka tidak perlu membayar pajak tanah,” terang Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).
Semua petani mengalami masalah yang sama. Apalagi 57 persen penduduk di Jawa diketahui terlibat dalam penanaman komoditas-komoditas pertanian milik pemerintahan kolonial. Beberapa komoditas itu antara lain cengkeh, karet, kopra, kopi, tebu, dan tembakau.
Belanda yang awalnya bak juru selamat kaum tani pura-pura tidak tahu. Alih-alih memerdekakan petani, tenaga petani diperas oleh Belanda macam sapi perah. Karenanya, petani mengalami penderitaan dan kemiskinan yang tiada tara. Kelaparan jadi salah satu resikonya.
Saking pedihnya nasib petani, pegawai kolonial Eduard Douwes Dekker alias Multatuli ikut bersimpati kepada kaum bumiputra. dalam bukunya Max Havelaar (1860), Ia tak menelanjangi perlakuan semena-mena pemerintah kolonial kepada petani. Tapi juga para priayi yang berkerja menjadi PNS kolonial.
Ia secara blak-blakan menuliskan bagaimana sengsaranya petani selama Sistem Tanam Paksa. Petani yang sudah sedemikian melaratnya, malah tak diberikan apa-apa oleh Belanda. Malah para priayi kebanyakkan ikut menyengsarakan petani. Para priayi sering kali mengambil hasil panen dan kerbau milik petani. Yang mana, akhirnya petani selalu menjadi pihak yang dirugikan.
“Orang Indonesia (utamanya petani) tetap sengsara, bahkan ada yang lebih sengsara daripada di masa VOC. Orang Sunda biasa mengatakan: orang lahir, kawin, dan mati di ladang tom. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak sempat mengurus ladangnya sendiri karena penyelewengan dalam pelaksanaan ketentuan Cultuurstelsel, dan kesengsaraan makin bertambah besar karena adanya sistem ‘pemberian hadiah’ (Cultuurprocenten). Di antara rakyat yang tidak tahan, lari meninggalkan kampung halamannya, dan mengganggu keamanan,” tutup G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad ke-20 Jilid 1 (1988).
*Baca Informasi lain soal MASA PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.