Jalan Ninja Ismail Marzuki Lawan Penjajah Pakai Musik
JAKARTA - Tak semua pejuang kemerdekaan harus mengangkat senjata melawan penjajah. Ismail Marzuki buktinya. Ia adalah Soekarnonya dunia musik. Musik jadi jalan ninja Ismail Marzuki dalam melakukan perlawanan. Tiap lagu perjungannya diperdengarkan, semangat rakyat melawan penjajah meningkat.
Eksistensinya itu sempat membuat penjajah berang. Namun anak Betawi asli itu tak pernah membenci orang Belanda atau Jepang serta bahasa mereka. Satu-satunya yang dibenci “musikus salon” itu adalah kolonialisme atau penjajahan.
Popularitas musikus bumiputra era tahun 1930-an hingga 1950-an tak banyak. Salah satu nama yang mengisi periode itu adalah Ismail Marzuki. Segenap rakyat Indonesia mengenal Ismail Marzuki sebagai maestro musik yang mendominasi tahun-tahun penuh perjuangan.
Kehadiran anak Kwitang yang lahir pada 11 Mei 1914 ini dalam blantika musik bahkan diakui Belanda. Ia pun sering mentas dari panggung ke panggung pesta orang Belanda. Kekuatan utama Ismail Marzuki dalam bermain musik tak lain adalah ayahnya sendiri, Marzuki.
Sang ayah yang seorang pemegang buku di perusahaan reparasi mobil “Ford Reparatie Atelier Tio” di Senen Raya juga senang dengan musik. Sebagai pegawai, ayahnya memperoleh gaji sebanyak 150 gulden. Karenanya, keluarga Ismail Marzuki termasuk kalangan berada.
Ayahnya sampai memiliki “mesin ngomong“ gramafon dan piringan hitam cukup banyak. Itulah mengapa kesukaan ayahnya terhadap musik menular kepada Ismail Marzuki. Keistimewaan itu jadi awalan Ismail Marzuki belajar banyak alat musik secara otodidak, hingga terkenal.
“Lain ceritanya jika Anda ingin mereka-reka bagaimana kehidupan permusikan pada dekade 1940 dan 1950. Setelah Revolusi 1945, orang banyak mengenal lagu-lagu mars perjuangan atau puja-puji kepada nusa dan bangsa. Ismail Marzuki, misalnya, menjadi pencipta lagu-lagu romantisme perjuangan, seperti Gugur Bunga (1945), Halo Halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946), atau Sepasang Mata Bola (1946). Setelah itu tidak ada yang mengetahui persis perjalanan musik Indonesia, kecuali merebaknya orkes-orkes keroncong, lagu-lagu daerah, atau paduan-paduan suara,” ungkap Rudy Badil dalam buku Warkop: Main-Main jadi Bukan Main (2010).
Musikalitasnya makin meningkat kala Ismail Marzuki bersekolah di sekolah Belanda Hollandsch Inlandsche School (HIS), kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelahnya, Ismail Marzuki tak Cuma pandai berbahasa Belanda tapi turut mengenal karakter musik Eropa. Bersekolah di HIS membuatnya menjalani kehidupan sebagai seniman sejati. Tak jarang pula Ismail Marzuki membeli peringan hitam lagu-lagu barat dengan uang sakunya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Ismail Marzuki seperti anak Betawi pada umumnya. Ia harus mengimbangi antara pelajaran sekolah dengan pelajaran agama. Pagi harinya ia belajar di bangku sekolah. Sedang sore harinya belajar di Madrasah Unwanul Falah yang didirikan oleh ulama kesohor Ali Alhabsyi di Kwitang (Habib Kwitang). Demi menyemangati sang anak supaya rajin belajar, ayahnya kemudian mulai membelikan anaknya alat musik. Ismail senang bukan main.
Ia lalu mulai belajar banyak alat musik. Kesempatan itu dilanjutkan dengan mencoba mengubah lagu demi lagu dari ragam genre. Jam terbang pun meningkat, dari radio, film, hingga menyentuh panggung Societeit, sebuah klub ekslusif pada masa itu. Karena itu, semua yang berhubungan dengan aktivitas bermusik disukai oleh Ismail Marzuki. Kecuali satu hal. Ismail Marzuki pantang bermain musik di pesta perkawinan.
“Ismail Pantang bermain di pesta perkawinan. Katanya, ini untuk mengangkat derajat para musisi Indonesia sendiri. Masa itu pemain musik mempunyai citra buruk di mata sebagian orang, sampai dijuluki ‘Buaya Keroncong.’ Karena pengaruh Ismail itu, Lief Java (kelompok musiknya) tidak menerima panggilan main di pesta pernikahan. Individu-individu pendukung orkes itu pun demikian. Itulah sebabnya Ismail dijuluki: musikus salon,” ungkap Ahmad Naroth dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
Lagu sebagai alat perjuangan
Jika di masa penjajahan Belanda Ismail Marzuki banyak mengeksplorasi bakatnya di dunia musik. Maka beda hal dengan masa penjajahan Jepang. Di awal Jepang menguasai Nusantara, Ismail Marzuki seperti kaum bumiputra pada umumnya yang menaruh kepercayaan kepada Jepang. Negeri matarahari terbit dianggapnya sebagai juru selamat.
Tapi setelah Jepang berkuasa satu tahun lamanya, borok dari penjajah mulai terlihat. Mereka justru lebih ganas dari Belanda. Ismail Marzuki berang. Ia putar otak untuk dapat berjuang bersama pejuang kemerdekaan yang lain. Akhirnya ia memilih untuk berjuang dengan caranya sendiri. Bukan dengan angkat senjata. Tapi lewat musik.
Ia mulai menggubah lagu Bisikan Tanah Air dan Indonesia Pusaka. Lagu itu disiarkan luas melalui radio-radio di masanya. Ismail sempat ditegur, diinterogasi, dan ditahan oleh Polisi Militer Jepang. Ia dicap sebagai pemberontak oleh Jepang.
Lantaran kaki sudah terlangkahkan, tangan sudah terjembakan, Ismail Marzuki pantang mundur. Lagu-lagu lainnya turut digubahnya. Sederet lagu populer perjuangan adalah buah dari karyanya, seperti mars Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Gagah Perwira hingga Rayuan Pulau Kelapa.
“Lagu-lagu yang digubah Bang Mail (sapaan akrabnya) adalah bentuk cintanya kepada tanah air. Ia ingin berjuang lalu menjadikan lagu sebagai alatnya. Ia terus menggubah lagu berbalut nasionalisme. Lagunya jadi punya nilai sendiri bagi para pendengarnya, pejuang kemerdekaan. Dari karyanya kita dengan mudah paham arah beliau yang begitu menentang kolonialisme.”
“Bagi masyarakat Betawi dan Indonesia, karyanya abadi. Bang Mail pun tiada duanya. Cukup tepat jika seniman Betawi dikenang hingga hari ini. Dan wajar bila Ismail Marzuki kemudian dinobatkan sebagai pahlawan nasional,” ungkap Budayawan Betawi Masykur Isnan, dihubungi VOI, 10 November.
Perjuangan Ismail Marzuki akhirnya terbalaskan. Indonesia berhasil lepas dari belenggu penjajahan Jepang pada 17 Agustus 1945. Setelahnya, ia makin menekuni dunia musik. Ia dikenal sebagai musisi produktif dan pandai. Saban hari selalu digunakannya untuk menelurkan karya. Tentunya dengan ciri yang khas Ismail Marzuki. Ia mengedepankan kebebasan berekspresi, leluasa bergerak antar genre, hingga lihai menyelipkan kritikan dalam lagunya.
Sepanjang hidupnya seniman legendaris itu telah menciptakan lebih dari 200 lagu. Ia terus berjuang lewat jalur musik bahkan hingga ajal mejemput. Ismail Marzuki pun meninggal dunia di kediamannya, Kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 25 Mei 1958.
Penyakit paru-paru yang diderita jadi musababnya. Sebagai bentuk penghargaan, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977) menggunakan namanya untuk pusat kesenian Jakarta pada 10 November 1968. Tempat itu dinamai Ali Sadikin sebagai Taman Ismail Marzuki (TIM).
“Diberi nama Taman Ismail Marzuki untuk memberikan penghargaan kepada seniman almarhum Ismail Marzuki, putra Jakarta, komponis dan pejuang kemerdekaan,” tutup Ali Sadikin sebagaimana yang ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
*Baca Informasi lain soal MASA PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.