JAKARTA - Kepopuleran nasi Padang ditunjang munculnya rumah makan Padang. Bagi orang Minang, rumah makan Padang tak sekadar tempat mencari rezeki tapi sarana menularkan nilai-nilai luhur. Ada pertanyaan yang mungkin akrab di kepala penyuka nasi Padang. Kenapa nasi padang yang dibungkus porsi nasinya lebih banyak, sementara jika makan di tempat porsi nasinya lebih sedikit. Kita dalami aspek sejarah di balik budaya ini.
Abad ke-19 adalah awal dari kesohornya nasi Padang. Eksistensi itu ditunjang oleh Kota Padang yang menjelma jadi pusat aktivitas ekonomi di Sumatra Barat. Efeknya meluas kemana-mana. Semua hasil bumi di Sumatra Barat dikumpulkan di Padang. Begitu pula dengan segala kebutuhan pokok. Padang jadi pintu gerbangnya.
Pemerintah Kolonial kemudian berinisiatif membangun sarana dan prasarana untuk menopang pengiriman dari dan ke Padang. Jalanan termasuk yang utama demi kelancaran mobilitas sarana transportasi yang membawa hasil bumi, seperti kereta kuda dan pedati. Karenanya, tempat peristirahatan untuk pejabat dan pedagang ikut dibangun pada tiap titik strategis.
Di tempat itu kuda pun dapat beristirahat sejenak. Fasilitasnya cukup lengkap untuk zamannya. Kedai nasi pun ikut muncul dan jadi populer bagi mereka. Dalam bahasa orang Minangkabau kedai nasi disebut pula lapau nasi, los lambuang, atau karan. Istilah itu bahkan lebih melekat jauh sebelum populernya nama RM Padang.
Sejarawan dan jurnalis senior, Rosihan Anwar mengamini hal itu. Ketika dirinya menapak tilas masa kecil di tanah Minang sebutan lapau nasi menjamah kembali ingatannya. “Tak jauh dari situ ada sebuah lapau. Karena sudah tengah hari, kami masuk untuk makan nasi padang. Kemudian lapau tambah ramai."
"Orang baru selesai sembahyang Jumat di masjid datang makan sesuai dengan kebiasaan. Kami sekeluarga duduk di deretan bangku dekat pojok. Orang-orang lokal duduk di bagian lain. Mereka tidak menyapa, mungkin melihat kami orang dari luar dangung-dangung,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 4 (2010).
Rosihan benar. Dalam ingatan orang Minang, kata lapau nasi justru lebih populer dibanding rumah makan Padang. Kehadiran lapau dianggap sebagai pionir. Sebutan itu bertahan hingga Indonesia merdeka. Perubahan baru didapat setelah muncul pemberontakan dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat.
Usai pemberontakan berakhir pada 1961, semua elemen PRRI dibabat habis pemerintah Indonesia. Sebagaimana diungkap sejarawan Minangkabau dari Universitas Andalas, Gusti Adnan tindakan pemerintah nyatanya memantik eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke luar kota, termasuk ke Pulau Jawa. Eksodus itu jadi jalan meluasnya cita rasa minang. Rumah makan Padang terus tumbuh dipelosok negeri.
"Orang Padang setelah [peristiwa] PRRI disuruh melapor, disuruh ini, dibilang orang kalah, dihina-hina, jadi tahanan di daerah sendiri. Akhirnya pada keluar mereka itu," kata Gusti Asnan dikutip BBC.
Budaya merantau orang Minang
Meluasnya rumah makan Padang keluar daerah bukan melulu karena eksodus. Faktor lain yang juga kuat adalah budaya merantau anak-anak Minang. Keinginan sebagai perantau selalu mengiringi perjalanan hidup orang Minang ketika mereka beranjak dewasa. Tradisi itu langgeng karena merantau jadi salah satu bukti jika orang Minang telah dewasa.
Mereka harus ditempa pengalaman, termasuk berwirausaha di daerah lain. Yang jadi catatan, seringkali merantau bukan karena mereka merasa kekurangan. Orang tua mereka sebenarnya dapat mencukupi segala kebutuhan anak-anaknya. Akan tetapi, faktor yang menjadi latar belakang mereka merantau adalah rasa malu.
“Perasaan malu yang mendorong mereka meninggalkan kampung. Bila mereka terus-menerus di kampung, biarpun segala cukup, ibu bapak gadis-gadis tidak akan menjemputnya. Ini bukan saja memalukan pemuda itu sendiri, tetapi lebih lagi bagi ibu, mamak, dan bapaknya. Yang bertiga ini malu sekali bila pemuda sebaya dengan anaknya telah kawin dan anaknya belum.”
“Anaknya seolah-olah tidak laku. Betapa juga banyak darah bangsawan mengalir di seluruh tubuhnya, atau betapa pun ramainya ilmu agama dalam kepalanya, selama mereka tinggal di kampung, ibu bapak gadis-gadis lebih suka menjemput pemuda yang berdagang di rantau,” cerita Muhamad Radjab dalam otobiografinya Semasa Kecil di Kampung 1913-1928 (2019).
Anak-anak Minang yang memilih merantau memang tak semuanya langsung sukses. Banyak yang memulai segala sesuatunya dari bawah. Ada yang menjadi tukang kuda hingga pedagang kecil-kecilan. Berkat kerajinan, kecermatan, dan kepandaian mereka akhirnya sanggup membuka usaha sendiri. Termasuk membangun rumah makan Padang sendiri di luar daerah.
Antropolog dari Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih bahkan menyebut perantauan dan kegiatan merintis kejayaan rumah makan Padang tak melulu di Indonesia. Mereka juga tersebar di berbagai negara. Lagi pula, tiap mereka yang merantau sering juga dibekali dengan kepandaian mengelola makanan dengan cita rasa Minangkabau yang otentik dan khas Nusantara. Kemampuan itu jadi kunci nasi padang digemari oleh ragam suku dan bangsa.
“Adanya budaya ‘merantau’ yang memiliki filosofis mendalam bagi masyarakat Minangkabau, khususnya. Merantau merupakan aktivitas manusia yang ditandai dengan pengembaraan pergi ke luar daerahnya (zona nyaman) untuk mengembangkan diri dan meningkatkan taraf hidupnya.”
“Merantau di tanah rantau melekat pada tradisi orang-orang Minangkabau. Hal ini menjadi modal budaya untuk pengembangan usaha dan kewirausahaan. Orang Minang saya rasa patut disebut sebagai petarung ulung dalam dunia bisnis yang dapat disaksikan dengan usaha kerasnya mendirikan Rumah Makan Padang di berbagai pelosok negeri,” ungkap Dimas Ario Sumilih ketika dihubungi VOI, Rabu, 8 September.
Kenapa nasi padang yang dibungkus lebih banyak porsi nasinya?
Fenomena melebihkan porsi nasi ketika dibungkus di rumah makan Padang bukan barang baru. Tradisi ini langgeng sejak dulu. Dimas Ario Sumilih menyebut tiada alasan tunggal nan spesifik terkait tradisi melebihkan porsi itu. Banyak versi. Ada yang mengungkap tradisi porsi jumbo mulai dilakukan sebagai bentuk solidaritas sesama kaum bumiputra di masa penjajahan Belanda.
Ada juga yang mengungkap sebagai bentuk penghargaan kepada pelanggan. Dari nasi yang dibungkus pekerjaan dari pemilik kedai menjadi berkurang. Pun tidak perlu cuci piring atau makan tempat. Sebagai bentuk penghargaan, maka porsi nasi dilebihkan. Terakhir, melebihkan porsi menyiratkan semangat berbagi pemilik kedai supaya nasi dapat dikonsumsi bersama anggota keluarga lain di rumah.
Versi ini juga dijelaskan oleh Ade Putri Paramadita, culinary storyteller. "Ini aku enggak tahu. Pernah dengar dari beberapa orang Sumatra, mereka bilang biasanya kalau makanan nasi padang yang dibawa ke rumah itu umumnya dikasih nasi lebih banyak supaya nanti sampai di rumah bisa berbagi makannya. Enggak tahu benar atau tidak tapi cerita ini aku dapatkan dari beberapa orang asli Minang," katanya kepada VOI, Rabu, 8 September.
Namun, dari alasan-alasan yang ada, semuanya akan bermuara kepada niatan orang Minang dalam melestarikan nilai-nilai luhur seperti semangat berbagi dan menghargai sesama yang telah diwarisi turun-temurun. Semangat berbagi dan menghargai tersebut tak ubahnya sebuah perwujudan dari nilai-nilai kebaikkan Islam yang dianut oleh orang Minang sedari dulu.
“Di samping mengusung citra rasa Kenusantaraan, masakan khas Minangkabau (Nasi padang) juga melekat dengan citra rasa Keislaman. Kita ketahui bahwa masyarakat Minangkabau punya identitas yang menunjukkan kolaborasi adat dan ajaran agama Islam. Masakan Padang (jadi medium). Masakan Padang juga diterima umum karena menu masakan dapat dikategorikan menggunakan bahan-bahan yang halal dan disajikan secara halal,” tutup Dimas Ario Sumilih.
*Baca Informasi lain soal KULINER atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.