JAKARTA – Pengamat politik Adi Prayitno tiba-tiba membagikan pengalamannya menyantap makanan di sebuah rumah makan Padang. “Tadi makan masakan Padang. Enak sekali. Awak tak pernah nanya dia orang mana,” tulis Adi di akun X pribadinya, @Adiprayitno_20.
Adi menambahkan, yang terpenting adalah masakan yang cocok di lidah. Apalagi saat makan, kata Adi, si penjual masakan Padang tidak menanyakan KTP-nya.
“Sejatinya makanan itu tak kenal identitas. Cukup politik yang selalu ngunyah identitas dan bikin aduh,” imbuhnya.
Tulisan Adi Prayitno soal pengalamannya menyantap masakan Padang muncul di tengah hebohnya aksi razia yang dilakukan ormas Minang di Cirebon, Jawa Barat.
Belum lama ini sekelompok orang yang disebut tergabung dalam Paguyuban Rumah Masakan Padang Cirebon (PRMPC) melakukan razia terhadap sebuah rumah makan Padang di Kabupaten Cirebon.
Narasi yang beredar, rumah makan yang dirazia karena si pemilik bukan orang Minang asli. Sementara narasi lainnya menyebutkan, PRMPC merazia RM Padang abal-abal atau rumah padang yang masakannya tidak sesuai standar Padang pada umumnya, padahal rumah makan itu berlabel “Masakan Padang”.
Video yang beredar di masyarakat itu menuai kritik. Warganet menilai aksi razia ini justru mencederai Suku Minang.
"Walau ini bukan berarti representasi orang-orang suku minang, tapi tetap kelompok ini menciderai ras mereka sendiri. Banyak yang hujat, dan bisa jadi ini bakal jadi 'pelemahan' dalam sektor kuliner makanan padang. Saya sih gak doain, cuma klo liat dari komentarnya, agak ngeri-ngeri sedap. Mudah-mudahan ada jalan tengah yang bisa diambil, yang bisa menyenangkan semua pihak. Aamiin," tulis seorang warganet.
Sementara itu, pengguna berbeda menimpali, "Sesuai selera masing-masing aja gak sih? walaupun rasanya tetep beda tapi sama2 enak."
Kuliner adalah Bagian dari Budaya Nusantara
Masakan Padang merupakan salah satu masakan populer di Indonesia, selain warung Tegal atau Warteg. Rumah makan Padang dikenal sebaga tempat yang menjual nasi Padang, makanan khas daerah Minangkabau, Sumatra Barat, yang menjadi menu favorit banyak orang karena memiliki cita rasa yang khas.
Pakar sejarah Minangkabau Gusti Asnan menceritakan mengapa penamaan rumah makan Padang lebih populer dibandingkan rumah makan Minangkabau. Menurutnya, semua ini bermula ketika bergolaknya peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI di Sumbar yang berhasil ditumpas pada 1961.
Akibat peristiwa pemberotakan PRRI, terjadi eksodus besar-besaran warga keluar dari Sumbar, dan salah satu tujuannya ke Pulau Jawa. Gusti Asnan, yang juga profesor sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang menuturkan akibat eksodus besar-besaran ini membuat sebagian warga di perantauan berusaha mengganti penyebutan identitas asal mereka termasuk asal etnik dari Minangkabau menjadi Padang.
“Termasuk pula di dalamnya menamai kedai sebagai rumah makan padang dan itu dipertahankan sampai hari ini. Bahkan jauh lebih populer dari sebutan lama sebagai lapaunasi, los lambung atau karan. Lapau adalah bahasa Minangkabau untuk kedai dan los lambung adalah istilah setempat untuk menyebut warung makan,” demikian dikutip Indonesia.go.id.
Kembali ke masalah razia yang diduga dilakukan salah satu ormas Minang dengan mencopot label Masakan Padang di rumah makan di Cirebon. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya kuliner Nusantara, namun ia menyayangkan adanya tindakan razia tersebut.
“Kuliner adalah bagian penting dari budaya Nusantara yang seharusnya kita lestarikan bersama,” kata Fadli, seperti dikutip Antara.
Fadli juga menekankan pentingnya menjaga kualitas dan cita rasa autentik masakan tradisional Indonesia. Namun di saat bersama, dia mengecam tindakan pencopotan label tersebut, dan menilai aksi tersebut sebagai langkah yang keliru. Ia menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memasak dan menjual kuliner khas Nusantara tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun.
“Bukan hanya masakan Padang, tetapi juga masakan khas daerah lain seperti masakan Aceh, Jawa, dan Rawon. Semua perlu dilestarikan dengan menjaga kualitas dan cita rasanya,” jelas Fadli.
“Aksi sweeping ini jelas tidak tepat, karena kuliner adalah bagian dari budaya publik yang perlu dijaga dan didukung oleh kita semua,” imbuhnya.
Persaingan Usaha Tinggi
Sementara itu, setelah video razia beredar di media sosial, ketua PRMPC Erianto memberikan klarifikasi. Ia menegaskan, pihaknya tidak pernah melarang masyarakat non-Minang menjual nasi Padang.
Hanya saja yang menjadi keberatan PRMPC karena banyak RM Padang yang menjual dengan harga sangat murah. RM Padang yang membanderol paket nasi ayam seharga Rp9.000 per porsi dianggap tidak masuk akal oleh PRMPC dan mengorbankan standar cita rasa masakan Padang itu sendiri. Skema banting harga ini juga dianggap mengganggu persaingan bisnis kuliner masakan Padang di daerah tersebut.
Fenomena banting harga ini sebenarnya tidak hanya terjadi di RM Padang di Cirebon, melainkan di sejumlah daerah lainnya, dengan harga bervariasi mulai dari Rp10.000 sampai Rp12.000 per porsi.
Menurut Yudi Mahadiyanto, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon menilai, kisruh RM Padang di Cirebon menunjukkan tingginya persaingan usaha di tengah menurunnya daya beli.
BACA JUGA:
Penurunan daya beli masyarakat dapat dilihat dari deflasi nasional di lima bulan terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi lima bulan berturut-turut sejak Mei, yaitu 0,03 persen hingga September 2024 sebesar 0,12 persen.
”Banyak pekerja yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja). Ini berpengaruh pada daya beli yang menurun sementara biaya hidup meningkat. Orang-orang akan cari makanan yang lebih murah dan tidak mempermasalahkan cita rasanya,” ungkap Yudi.
Oleh karena itu, dituturkan Yudi, kisruh nasi Padang ini butuh penyelesaian komprehensif.
“Pedagang harus mempertahankan kualitasnya dan menjalin hubungan baik dengan konsumen. Tapi, itu tidak cukup. Pemerintah perlu hadir dengan memastikan perekonomian kita baik-baik saja,” tandasnya.