Bagikan:

JAKARTA – Pendaftaran Indonesia ke BRICS diyakini akan membantu mengembalikan angka kelas menengah yang merosot dalam lima tahun terakhir. Dengan masuknya Indonesia ke BRICS maka potensi investasi masuk menjadi besar, yang bisa membangkitkan kembali sektor industri yang lesu. 

Presiden Prabowo Subianto langsung membuat kebijakan penting di sektor luar negeri meski masa jabatannya belum berusia sepekan. Prabowo membawa Indonesia bergabung ke aliansi ekonomi BRICS Plus.

Menteri Luar Negeri Sugiono bahkan hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia. Ia mengutarakan keinginan Indonesia bergabung dengan blok ekonomi tersebut.

"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum," ujar Menlu Sugiono dalam keterangan resmi.

Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Hussein Al-Sheikh di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus 2024 di Kazan, Rusia, Rabu (23/10/2024). (ANTARA/HO-Kemlu RI)

Sementara itu, Juru Bicara Kemenlu Roy Soemirat dalam keterangannya berujar, alasan Indonesia bergabung dengan BRICS adalah bentuk nyata dari politik luar negeri Indonesia. Untuk diketahui, Indonesia menganut politik bebas aktif mengupayakan agar bisa berpartisipasi di semua forum internasional, termasuk BRICS.

BRICS, yang merupakan singkatan dari lima negara berkembang yang berpengaruh yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (South Africa), pada hakikatnya bertujuan memperkuat suara negara-negara berkembang di hadapan dominasi-dominasi negara maju alias Global South.

Konsekuensi Logis Politik Bebas Aktif

Ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, menggunakan singkatan BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) dalam laporannya pada 2001 yang memprediksi empat negara tersebut bakal menjadi kekuatan ekonomi, terutama pada 2050.

Dari BRICS Portal disebutkan bahwa Rusia merupakan pihak yang memprakarsai pembentukan BRICS. Sejarah pembentukan BRICS bermula pada 20 September 2006, ketika diadakan Pertemuan Tingkat Menteri BRICS yang pertama atas usul Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela Sesi Sidang Majelis Umum PBB di New York.

Kemudian pada 2009 Brasil, Rusia, India, dan China mengadakan KTT pertama di Yekaterinburg. Setahun kemudian Afrika Selatan bergabung dan mulai berpartisipasi secara penuh dalam KTT pada 2011, sehingga namanya berubah menjadi BRICS.

Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). (ANTARA/HO-Kemlu RI/pri)

Awalnya BRIC lebih menyoroti kesempatan investasi, namun BRICS kemudian berubah menjadi blok geopolitik, dengan tujuan memperkuat suara negara-negara berkembang. Aliansi itu memandang keputusan-keputusan penting di dunia sering didominasi oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Barat.

Saat ini negara anggota BRICS bertambah Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Mereka resmi bergabung sebagai negara anggota BRICS pada Januari 2024.

Secara sekilas, pakar hubungan dari Universitas Katolik Parahyangan Idil Syawfi, melihat dari narasi yang ingin dibangun Menlu Sugiono adalah bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak bertentangan dengan politik luar negeri bebas aktif dan semangat non-blok.

“Tapi, kalau kita lihat lebih dalam BRICS dapat dikatakan merupakan gerakan revisionis atau kelompok negara-negara yang merasa tidak puas dengan sistem yang dibangun oleh Barat saat ini,” ujar Idil.

Jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. (ANTARA)

Namun ekonom dari Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menuturkan, keputusan Indonesia ‘melamar’ masuk BRICS bukan semacam konfrontasi terhadap old power, tapi dianggap sebagai perimbangan kekuatan sehingga tidak ada multi atau over domination dari suatu negara terhadap negara yang lain.

“Ini konsekuensi logis politik bebas aktif kita, karena pada Mei lalu kita sudah submit proposal ke OECD. Pada akhirnya mewujudkan netralitas kita,” kata Fithra.

Potensi Investasi yang Besar

Presiden Prabowo Subianto yakin keanggotaan Indonesia di BRICS bisa memperluas kemitraan global sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, Mantan Menteri Pertahanan ini juga menargetkan pertumbuhan delapan persen. Untuk mewujudkan itu, kata Fithra butuh Rp10 ribu triliun dalam lima tahun ke depan. Namun dari dalam negeri hanya bisa memenuhi Rp3000 triliun.

“Kekurangan tersebut harus dipenuhi dari komponen atau variabel luar negeri. Dengan mendekat ke BRICS dan OECD, target-target ekonomi dalam negeri bisa tercapai,” jelasnya.

Bergabungnya Indonesia ke BRICS juga memberikan potensi ekonomi yang besar, kata Fithra. Seperti diketahui sekarang ini kesempatan kerja sektor formal di Indonesia semakin terbatas. Meski angka pengangguran tahun ini turun, hanya 4,8 persen, namun sebenarnya pekerjaan yang ada tidak berkualitas karena sektor formal hanya 40 persen dibandingkan sektor informal 60 persen.

“Sehingga ketika bergabung dengan perkongsian elite, bisa mendapatkan investasi yang besar. Saat ini potensi besarnya adalah petro dolar,” tutur Fithra.

Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi. (VOI/Mery Handayani)

Meski demikian, Fithra menegaskan masuknya Indonesia ke BRICS tidak akan serta-merta membuka industri dan membuka lapangan pekerjaan. Tapi ia optimistis ketika banyak investasi masuk maka berpotensi ikut membangkitkan industri di Indonesia.

“Saat industrinya bangkit maka bisa menyerap tenaga dan ketika industri ini terbuka maka itu dikategorikan sebagai lapangan kerja formal yang menghasilkan income atau penghasilan lebih tinggi,” ucapnya.

Anjloknya angka kelas menengah di Indonesia dalam lima tahun terakhir disebabkan penghasilan mereka yang tergerus akibat minimnya lapangan kerja formal. Fithra meyakini ketika mereka akhirnya bisa kembali ke lapangan kerja formal, maka penghasilannya pun bisa ikut terangkat dan pada akhirnya menambah angka kelas menengah.

“Dengan arus investasi Rp7 ribu triliun dalam lima tahun ke depan bisa menciptakan sekitar 10 juta, bahkan 15 juta kelas menengah baru sehingga bisa mengembalikan kehilangan kelas menengah di periode sebelumnya,” jelasnya.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira pendaftaran resmi Indonesia ke dalam BRICS justru kian mempertegas ketergantungan Indonesia pada China.

“Padahal tanpa BRICS dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi China sudah sangat besar. Impor Indonesia dari China melonjak 112,6 persen dalam 9 tahun terakhir, dari 29,2 miliar dolar AS di 2015 menjadi 62,1 miliar dolar AS pada 2023. Sementara investasi dari China melonjak 11 kali di periode yang sama," ujar Bhima.

“Ketergantungan pada China juga membuat perekonomian lebih rapuh. Saat ekonomi China diproyeksikan menurun 3,4 persen dalam empat tahun kedepan berdasarkan World Economic Outlook IMF, terdapat kekhawatiran dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian. Kondisi ini idealnya direspon dengan penguatan diversifikasi negara mitra diluar China bukan malah masuk menjadi anggota BRICS,” tandasnya.