JAKARTA - Bekas pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur. Yang menjadi sorotan, Kejaksaan Agung menemukan uang hampir Rp1 triliun di rumahnya.
Kasus yang menyeret Ronald Tannur (32) kembali menjadi sorotan publik. Pada Rabu (23/10) Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diduga menerima suap dalam perkara yang membebaskan Ronald Tannur. Ketiga hakim tersebut adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo yang merupakan hakim PN Surabaya. Mereka memvonis bebas Ronald Tannur dalam sidang putusan pada Rabu, 24 Juli 2024. Tim Kejagung juga menangkap pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
Kasus ini makin menjadi perhatian seusai Kejagung melalui Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) melakukan penangkapan terhadap Zarof Ricar selaku mantan pejabat MA.
Kronologi Kasus Ronald Tannur
Ronald Tanur merupakan terdakwa kasus penganiayaan kekasihnya, Dini Sera Afrianti, hingga tewas. Namun pada 24 Juli 2024, anak politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) asal Nusa Tenggara Timur Edward Tannur ini dinyatakan bebas oleh tiga anggota majelis hakim PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo.
Dalam sidang putusan, pria 32 tahun ini dinyatakan tidak terbukti menganiaya dan membunuh kekasihnya, Dini. Dalam sejumlah pemberitaan, Dini disebut tewas karena dianiaya dan dilindas mobil oleh Ronald.
Namun dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan Dini meninggal akibat penyakit lain dan minum alkohol. Putusan bebas juga bertolak belakang dengan tuntutan 12 tahun penjara oleh jaksa.
Vonis bebas ini memantik kemarahan publik dan tiga hakim tersebut dilaporkan oleh Komisi Yudisial ke Badan Pengawasan MA. Pada 22 Oktober, upaya kasasi jaksa penuntut dikabulkan oleh MA, yang membatalkan vonis bebas PN Surabaya dan menjatuhkan pidana penjara lima tahun atas Ronald.
Sehari setelahnya, Kejagung menangkap tiga hakim PN Surabaya yang putusannya membebaskan Ronald Tannur. Mereka disebut terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Kejagung, yang juga menangkap pengacara Ronald, Lisa Rachmat.
Kemudian di Bali, pada 23 Oktober sekitar pukul 22.00 WITA Kejaksaan Tinggi Bali menangkap mantan pejabat MA Zarof Ricar. Barang bukti yang diamankan dari tangan ZR berupa uang dalam beberapa mata uang asing yang jika ditotal mencapai Rp920,91 miliar dan Logam Mulia jenis emas Antam seberat 51 kilogram.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan keterlibatan Zarof dalam perkara ini adalah sebagai penghubung antara pengacara Ronald Tanur dan hakim agung untuk pengurusan kasasi.
Dalam kasus ini, Lisa meminta Zarof mengupayakan Hakim Agung pada MA tetap menyatakan Ronald Tannur tidak bersalah dalam Putusan Kasasinya. Lisa menjanjikan uang Rp5 miliar untuk para hakim agung tersebut.
Masalah Sistemik dan Terstruktur
Temuan uang tunai hampir Rp1 triliun dan puluhan kilogram emas di rumah Zarof Ricar langsung menyita atensi publik. Uang-uang itu diduga sebagai gratifikasi yang terimas Zarof ketika menjabat sebagai pejabat MA dan menjadi makelar kasus untuk menguntungkan pihak berperkara.
“Untuk pembuktian, karena ini salah satu pasalnya adalah gratifikasi, maka kami berikan kesempatan seluas-luasnya kepada yang bersangkutan menjelaskan darimana uang itu didapat,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jumat (25/10).
Khusus untuk kasus Ronald Tannur, dari Rp5 miliar yang dijanjikan Lisa, Zarof disebut-sebut mendapat fee Rp1 miliar atas jasanya melobi hakim agung. Menurut kabar media, Zarof diduga terlibat sebagai makelar kasus dalam banyak pengurusan perkara di MA dari 2012 sampai 2022, hingga memiliki harga triliunan rupiah.
Pengamat hukum pidana dari JFB & Partners Farizal Pranata Bahri menegaskan, tertangkapnya Zarof beserta tiga hakim PN Surabaya mencoreng wajah peradilan di Indonesia. Meski demikian, ia tidak menampik makelar kasus seperti yang dilakukan Zarof umum terjadi di hampir setiap instansi.
“Tertangkapnya Zarof cukup membuat kaget. Masyarakat yang masih sulit mengakses keadilan menjadi semakin tidak percaya dengan peradilan akibat kasus ini,” kata Farizal kepada VOI.
“Ini merupakan oknum yang menggunakan jabatan atau relasinya untuk meraup keuntungan pribadi. Jadi oknum seperti hampir pasti ada di setiap instansi baik pemerintah atau swasta,” kata dia menambahkan.
Hal senada juga dituturkan Julius Ibrani selaku Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengapresiasi Jampidsus yang berhasil membongkar kasus ini. Menurutnya, kasus ini bukanlah kasus sederhana, tetapi masalah sistemik dan terstruktur.
“Model kasus yang sudah terstuktur dan sistemik seperti ini bukan perkara satu dua tahun tapi pasti puluhan tahun terjadi dan sebetulnya kalau melihat kasus yang melibatkan pejabat tinggi MA sebelumnya, polanya sama bukan pola baru,” tutur Julius.
“Maka tidak heran dengan angka yang luar biasa ini, pasti bukan satu dua orang yang main, dukung penuh ini diusut sampai ke akar-akarnya,” imbuhnya.
Farizal Pranata Bahri menyampaikan, sistem peradilan mesti dibuat setransparan mungkin sehingga makelar kasus seperti ini tidak terulang. Menurutnya, ketika kasus sudah di Mahkamah Agung, karena persidangannya tidak bisa dilihat publik dan diketahui secara real time, maka praktik seperti ini rentan terjadi.
“Semoga ke depan integritas hakim dapat terus ditingkatkan karena masih banyak hakim di luaran sana yang berada di daerah tertinggal atau terpencil yang harus berjuang untuk hidup,” ucap Fariza.
“Namun akibat adanya oknum ini membuat namanya mereka pun ikut jelek. Janji hakim saat di sumpah harus selalu di ingat karena mereka sebagai benteng pencari keadilan terakhir di negeri ini,” pungkasnya.