Bagikan:

JAKARTA - Sebuah laporan datang dari Chief Product Officer YouTube, Neal Mahon. Ia  menyatakan YouTube  telah menghapus lebih dari satu juta video kesalahan informasi COVID-19 yang berbahaya sejak Februari 2020.

Mahon juga membagikan statistik dalam postingan blog-nya yang menguraikan bagaimana YouTube mengatasi informasi yang salah di platformnya.

“Misinformasi telah berpindah dari marginal ke mainstream. Tidak lagi terbatas pada dunia tertutup dari penyangkal Holocaust atau kebenaran 9 hingga 11, sekarang meluas ke setiap aspek masyarakat. Kadang-kadang merobek komunitas dengan kecepatan tinggi," ungkap Mahon seperti dikutip dari Engadget, Kamis, 26 Agustus.

Pada saat yang sama, Mahon berpendapat bahwa konten yang buruk seperti itu hanya menyumbang sebagian kecil dari keseluruhan konten YouTube.

“Konten buruk hanya mewakili sebagian kecil dari miliaran video di YouTube sekitar 0,16 hingga 1,18 persen dari total penayangan ternyata merupakan konten yang melanggar kebijakan kami," ujar Mahon.

Ditambahkan Mahon yang dihimpun dari VOA News, YouTube  sedang bekerja untuk mempercepat proses penghapusan video dengan informasi yang salah sekaligus mengirimkannya dari sumber yang berwenang. Platform tersebut  telah menghapus hampir 10 juta video per kuartal dan sebagian besar telah ditonton kurang dari 10 kali.

"Penghapusan cepat akan selalu penting tetapi kami tahu itu tidak cukup. Hal terpenting yang dapat kami lakukan adalah meningkatkan yang baik dan mengurangi yang buruk. Saat orang sekarang mencari berita atau informasi, mereka mendapatkan hasil yang dioptimalkan untuk kualitas, bukan seberapa sensasional kontennya," jelas Mahon.

Pernyataan oleh platform video milik Google itu muncul ketika perusahaan media sosial lainnya mendapat kecaman dari para pemimpin politik di Amerika Serikat (AS) karena gagal membendung penyebaran informasi yang salah dan berbahaya serta disinformasi tentang virus dan topik lainnya.

Tidak hanya YouTube, begitu pula dengan Facebook baru-baru ini membuat argumen serupa tentang konten di platform-nya. Jejaring sosial itu menerbitkan laporan minggu lalu yang mengklaim bahwa posting paling populer adalah meme dan lainnya non-politikisi.

Media sosial milik Mark Zuckerberg tersebut kemudian menghadapi kritik atas penanganannya terhadap COVID-19 dan informasi yang salah tentang vaksin. Perusahaan berpendapat bahwa kesalahan informasi vaksin tidak mewakili jenis konten yang dilihat sebagian besar pengguna mereka.

Sebagai informasi, kedua platform memiliki lebih dari satu miliar pengguna, yang berarti bahkan sebagian kecil konten dapat memiliki dampak yang luas. Kedua platform sejauh ini menolak untuk mengungkapkan rincian bagaimana vaksin dan informasi kesehatan yang salah menyebar atau berapa banyak pengguna yang terdampak.