Bagikan:

JAKARTA – Rencana pemerintah Australia untuk memberlakukan larangan penggunaan media sosial berdasarkan usia menimbulkan kekhawatiran di kalangan para ahli tentang dampak potensial terhadap kesejahteraan sosial dan mental remaja. Ini terutama bagi kelompok yang rentan seperti migran dan komunitas LGBTQIA+.

Tereza Hussein, seorang remaja berusia 14 tahun yang tinggal di Darwin, merupakan salah satu remaja yang merasa khawatir dengan kebijakan ini. Hussein, yang lahir di Republik Demokratik Kongo dan menghabiskan masa kecilnya di kamp pengungsi di Malawi sebelum pindah ke Australia pada usia sembilan tahun. Ia mengandalkan media sosial untuk tetap terhubung dengan neneknya, yang belum pernah ia temui secara langsung.

“Ini satu-satunya cara saya bisa berhubungan dengan nenek saya,” kata Hussein. "Kalau dilarang, itu akan sangat mengubah hidup saya karena akan sulit bagi saya untuk berbicara dengan orang-orang yang saya tinggalkan."

Hussein jarang memposting di media sosial, tetapi ia sering menggunakan Instagram dan Snapchat untuk melihat dan mendiskusikan foto serta video dari teman dan keluarganya. Bagi remaja seperti Hussein, rencana larangan ini dianggap sebagai kebijakan yang gagal mempertimbangkan pentingnya media sosial sebagai sarana komunikasi dan dukungan sosial bagi remaja.

Kekhawatiran Bagi Kelompok Rentan

Para ahli mengatakan, larangan ini bisa berdampak buruk bagi remaja dari komunitas yang rentan. Bagi remaja migran, LGBTQIA+, dan kelompok minoritas lainnya, media sosial sering kali menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan dukungan emosional dan sosial.

Sekitar 97% remaja Australia menggunakan media sosial di berbagai platform, menjadikan mereka salah satu kelompok remaja yang paling terhubung di dunia. Sebuah survei oleh layanan pemuda ReachOut pada tahun 2024 menunjukkan bahwa hampir dua pertiga orang tua dari remaja Australia mengkhawatirkan penggunaan media sosial anak-anak mereka, terutama terkait dengan kecanduan media sosial.

Pemerintah berencana memberlakukan larangan tersebut sebagai langkah untuk mengatasi kecanduan media sosial dan dampak negatifnya terhadap kesehatan fisik serta mental anak-anak dan remaja. Namun, uji coba verifikasi usia menjadi langkah pertama sebelum larangan penuh diberlakukan, yang dijadwalkan akan diperkenalkan dalam bentuk undang-undang akhir tahun ini.

Namun, para advokat pemuda dan ahli kesehatan mental memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa memutus hubungan sosial yang penting bagi remaja yang rentan. Amelia Johns, seorang profesor digital media di University of Technology Sydney, mengatakan bahwa larangan ini berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif pada kesehatan mental remaja.

“Larangan ini sangat bertolak belakang dengan apa yang kami rekomendasikan,” kata Johns, yang telah meneliti penggunaan media sosial oleh remaja migran selama lockdown COVID-19. “Media sosial adalah bagian penting dari kehidupan sehari-hari banyak remaja. Bagi banyak dari mereka, memilih untuk keluar dari media sosial bukanlah pilihan, dan saya khawatir dengan dampak pada kesehatan mental jika terjadi larangan penuh.”

Meskipun belum ada negara yang sepenuhnya menerapkan larangan berbasis usia pada platform internet, beberapa negara seperti Prancis dan Inggris telah menguji coba sistem verifikasi usia. Di Amerika Serikat, beberapa negara bagian telah mewajibkan verifikasi usia untuk mengakses konten terbatas, namun belum ada larangan menyeluruh.

Dampak Potensial Terhadap Kesehatan Mental

Remaja seperti Ben Kioko, 14 tahun, dari Sydney, yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari komunitas LGBTQIA+ dan autistik, merasa khawatir dengan dampak larangan ini. Bagi Kioko, media sosial adalah tempat untuk mendapatkan dukungan dan berbicara dengan teman-teman. Ia mengatakan bahwa kehilangan akses ke media sosial akan membuatnya merasa lebih terisolasi dan memperburuk masalah kesehatan mental yang sudah ia alami, seperti kecemasan dan depresi.

"Kalau saya kehilangan media sosial, saya akan merasa jauh lebih terisolasi," kata Kioko. "Saya berjuang dengan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi, dan ini bisa membuatnya jauh lebih buruk serta mempengaruhi hidup saya dalam jangka panjang."

Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, mendukung kebijakan ini, dengan menyatakan bahwa banyak orang tua ingin anak-anak mereka menghabiskan lebih sedikit waktu di depan layar dan lebih banyak di luar rumah. “Orang tua ingin anak-anak mereka lepas dari ponsel dan berada di lapangan olahraga, begitu juga saya,” kata Albanese pada September lalu.

Namun, beberapa ahli menilai kebijakan ini didasarkan pada pandangan nostalgia tentang masa kecil tanpa layar yang sudah tidak relevan dengan dunia digital saat ini. Justine Humphry, seorang peneliti media di University of Sydney, mengatakan bahwa sementara perusahaan media sosial harus lebih melindungi pengguna muda, larangan penuh bukanlah solusi.

Selain itu, para ahli juga mencatat bahwa berbagai upaya untuk menegakkan batasan usia di negara lain sebagian besar gagal karena penggunaan VPN (Virtual Private Network) yang dapat menyembunyikan lokasi dan identitas pengguna. Menurut laporan yang disusun oleh mantan hakim Robert French untuk mendukung rencana larangan di negara bagian Australia Selatan, "pasti akan ada jalan keluar yang ditemukan oleh pengguna remaja yang paham teknologi."

Percobaan verifikasi usia di Prancis pada tahun 2022 menemukan bahwa hampir setengah dari remaja negara tersebut bisa mengakses VPN untuk menghindari pembatasan usia. Olivier Blazy, seorang ilmuwan komputer di Ecole Polytechnique Paris yang terlibat dalam proyek tersebut, mengatakan bahwa akses ke VPN akan menjadi tantangan utama dalam penegakan kebijakan ini.

Bagi siswa seperti Enie Lam, 16 tahun, penggunaan VPN adalah cara untuk mengakses situs berita yang diblokir oleh sekolah. "Saya tahu penggunaan media sosial secara berlebihan bukanlah hal yang baik, dan saya sedang berusaha menguranginya," katanya. "Tapi larangan itu sendiri tidak akan efektif."