Bagikan:

JAKARTA - Bagaimana cara menjauhkan anak-anak dari bahaya yang muncul akibat main media sosial (medsos)? Secara politis, jawabannya tampak sederhana di Australia. Namun, secara praktis solusinya bisa jadi jauh lebih sulit.

Rencana Pemerintah Australia melarang anak-anak menggunakan platform medsos termasuk X, TikTok, Facebook, dan Instagram hingga ulang tahun ke-16 menimbulkan pro kontra.

Partai oposisi di Australia mengaku setuju dengan larangan tersebut. Apabila pemerintah tidak bergerak lebih dahulu, mereka menegaskan bakal menerapkan wacana itu menjadi aturan jika menang Pemilu Australia pada Mei 2025

Para pemimpin dari delapan negara bagian dan teritori daratan Australia juga telah bersuara bulat mendukung rencana tersebut. Sementara Tasmania, negara bagian terkecil, mendukung namun dengan catatan ambang batas ditetapkan hingga usia 14 tahun.

Beda dengan politikus, lebih dari 140 pakar di bidang teknologi dan kesejahteraan anak merespons wacana tersebut dengan penolakan.

Mereka menandatangani surat terbuka yang ditujukkan kepada Perdana Menteri Australia Anthony Albanese terkait pengecaman wacana itu.

Menurut ratusan pakar tersebut, batasan larangan bermain medsos untuk anak-anak hingga menginjak usia 16 tahun merupakan gagasan yang tumpul dan sama sekali tidak efektif untuk mengatasi permasalahan.

Rincian terkait wacana ini masih minim. Detail panjangnya akan diketahui ketika rencana undang-undang terkait hal ini diperkenalkan ke Parlemen Australia minggu depan.

Ilustrasi. Orang tua memberikan gadget atau HP kepada anak usia dini. (Unsplash)

Suara Anak Muda

Leo Puglisi, pelajar di Melbourne berusia 17 tahun yang mendirikan layanan streaming daring '6 News Australia' pada usia 11 tahun sangat tidak menyetujui upaya pembuat undang-undang atau DPR Australia dalam menyikapi masalah, dalam hal ini medsos.

Menurutnya, DPR Australia seharusnya memiliki perspektif tentang medsos yang dipergunakan generasi muda secara luas di era digital.

“Sehubungan dengan pemerintah dan perdana menteri, mereka tidak tumbuh di era media sosial, mereka tidak tumbuh di era media sosial, dan banyak orang gagal memahami di sini. Bahwa, suka atau tidak, media sosial adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat,” kata Leo, dikutip dari AP.

“Itu bagian dari masyarakat, itu bagian dari pekerjaan, itu bagian dari hiburan, itu tempat mereka menonton konten – kaum muda tidak mendengarkan radio atau membaca koran atau menonton TV gratis – jadi itu tidak dapat diabaikan. Kenyataannya adalah larangan ini, jika diterapkan, hanya menunda masalah ketika seorang anak muda menggunakan media sosial,” sambungnya.

Leo diketahui telah mendapat banyak sambutan atas karya digitalnya. Ia tercatat menjadi finalis mewakilkan Victoria tempatnya tinggal untuk penghargaan 'Warga Australia Muda Tahun Ini' yang akan diumumkan pada Januari 2025.

Juri penghargaan itu memuji platformnya karena "membina generasi baru pemikir kritis yang terinformasi."

Seorang bocah memanfaatkan handphonenya untuk mendokumentasikan kegiatannya. (Kelly Sikkema-Unsplash)

Ibu dari Anak Terdampak Medsos

Salah satu pendukung wacana tersebut adalah aktivis keamanan siber Sonya Ryan. Ia menjadi ibu dari anak yang terdampak medsos.

Putrinya yang berusia 15 tahun, Carly Ryan, dibunuh pada tahun 2007 di negara bagian Australia Selatan oleh seorang pedofil berusia 50 tahun yang berpura-pura menjadi remaja di dunia maya.

Di era digital, Carly menjadi orang pertama di Australia yang dibunuh oleh predator daring.

“Anak-anak terpapar pornografi yang berbahaya, mereka diberi informasi yang salah, ada masalah citra tubuh, ada pemerasan seksual, predator daring, perundungan. Ada begitu banyak bahaya yang harus mereka atasi dan anak-anak tidak memiliki keterampilan atau pengalaman hidup untuk dapat mengelola semua itu dengan baik,” kata Sonya Ryan.

Sonya Ryan mengatakan sepenuh hati mendukung Pemerintah Australia menetapkan batas usia warga bisa bermedia sosial di umur 16 tahun.

“Akibatnya, kita kehilangan anak-anak kita. Bukan hanya apa yang terjadi pada Carly, perilaku predator, tetapi juga kita melihat peningkatan yang mengkhawatirkan dalam bunuh diri kaum muda,” tambahnya.

Perlindungan Data Disorot 

Profesor studi Internet di Curtin University, Tama Leaver, menyoroti pernyataan Pemerintah Australia yang meyebutkan, tanggung jawab wacana ini jika diterapkan akan berada di tangan platform, bukan pada anak-anak atau orang tua.

Platform akan memastikan setiap orang yang menggunakan medsos di Australia memenuhi batas usia.

Tama pun khawatir Pemerintah Australia akan membuat platform baru yang menyimpan data pribadi guna identifikasi pengguna medsos jika wacana itu menjadi aturan yang sah.

Kekhawatiran Tama mengingat dianggapnya Pemerintah Australia masih belum becus menjaga keamanan siber warganya setelah beruang kali mengalami kebocoran data pribadi.

"Mereka akan menjadi pemegang dokumen identitas, yang akan sangat buruk karena sejauh ini mereka memiliki rekam jejak yang cukup buruk dalam menjaga data pribadi dengan baik," ujar Tama.