Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah Australia membuat gebrakan besar dengan memberlakukan larangan penggunaan media sosial bagi remaja di bawah usia 16 tahun. Kebijakan ini lahir dari dorongan istri Perdana Menteri Australia Selatan, Peter Malinauskas, setelah membaca buku The Anxious Generation karya psikolog sosial AS, Jonathan Haidt. Buku tersebut mengupas dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental remaja, memicu langkah cepat pemerintah Australia untuk bertindak.

“Saya ingat dengan jelas saat istri saya berkata, ‘Kamu harus membaca buku ini dan melakukan sesuatu terkait hal ini,’” ungkap Malinauskas kepada media di Adelaide, sehari setelah parlemen federal meloloskan undang-undang tersebut.

Perjalanan Menuju Larangan Nasional

Dorongan Malinauskas untuk menerapkan pembatasan di negara bagian kecil Australia Selatan dengan populasi hanya 7% dari total 27 juta penduduk, berkembang menjadi kebijakan nasional dalam waktu enam bulan. Percepatan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam di kalangan masyarakat Australia.

Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, yang dijadwalkan menghadapi pemilu awal 2025, turut mendukung kebijakan ini dengan cepat. Survei pemerintah oleh YouGov menunjukkan bahwa 77% warga Australia mendukung larangan tersebut, naik dari 61% pada Agustus sebelum pengumuman resmi.

“Pemerintah federal memahami bahwa ini adalah masalah yang harus segera diatasi dan paling efektif jika dilakukan secara nasional,” ujar Rodrigo Praino, profesor kebijakan publik di Universitas Flinders, Australia Selatan.

Tantangan dan Kontroversi

Peraturan baru ini melarang akses media sosial tanpa pengecualian bagi remaja di bawah 16 tahun, berbeda dengan kebijakan di negara lain yang mengizinkan penggunaan dengan izin orang tua. Undang-undang tersebut memberi tanggung jawab penuh kepada platform media sosial, dengan ancaman denda hingga AUD 49,5 juta jika gagal mencegah akses oleh anak-anak.

Meta dan TikTok mengkritik kebijakan ini, menyebutnya terlalu terburu-buru dan berisiko mendorong remaja ke “sudut gelap internet.” TikTok, yang sangat populer di kalangan remaja, memperingatkan bahwa pembatasan tersebut dapat memicu masalah baru.

“Kami khawatir kebijakan ini akan membawa dampak yang tidak diinginkan, termasuk memperburuk kondisi yang ingin diatasi,” kata juru bicara TikTok.

Beberapa anggota parlemen dari sayap kiri dan kanan menolak kebijakan ini, dengan alasan overreach pemerintah dan potensi pelanggaran privasi. Namun, dengan dukungan mayoritas dari pemerintah dan oposisi, undang-undang ini disahkan pada malam terakhir sesi parlemen tahun ini dan akan berlaku setahun kemudian.

Implementasi dan Pengujian Teknologi

Untuk memastikan efektivitas aturan ini, pemerintah akan melakukan uji coba teknologi verifikasi usia mulai awal tahun depan. Teknologi yang diuji mencakup analisis biometrik wajah dan pemeriksaan dokumen identitas, yang diharapkan mampu mencegah akses oleh pengguna di bawah umur.

Robert French, mantan hakim Pengadilan Tinggi yang ditugaskan meninjau kemungkinan pembatasan usia, mengatakan bahwa model dasar yang masuk akal telah diterapkan. “Model ini akan memberikan keseimbangan antara perlindungan anak-anak dan tanggung jawab platform,” ujarnya.

Dengan langkah cepat dan dukungan publik yang kuat, Australia kini menjadi pelopor dalam upaya global untuk melindungi remaja dari dampak negatif media sosial. Kebijakan ini diharapkan menjadi acuan bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa.