Bagikan:

JAKARTA - Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie memandang perbedaan pendapat dalam menyikapi kebijakan yang dijalankan pemerintah tidak seharusnya diproses hukum pidana.

Dia pun mendorong aparat penegak hukum (gakkum) menimbang laporan menggunakan pasal karet terhadap pihak terlapor seperti yang saat ini dihadapi Said Didu dalam mengkritik proyek sengketa tanah pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

"Sebaiknya aparat gakkum hentikan smua proses hukum atas segala laporan/pengaduan terhadap orang yang beda pendapat atau bahkan antikebijakan pemerintah, seperti Said Didu, Refly Harun dll dengan berbagai pasal karet," katanya dalam akun media sosial X miliknya, @JimlyAs, Rabu 20 November.

Menurutnya, masih adanya ancaman pasal karet dalam konteks mengkritik pemerintah mengancam marwah demokrasi.

"Ini hanya akan merusak demkrasi yg butuh sikap toleran atas segala prbedaan," sambung Jimly.

Dalam menyelesaikan perkara, Jimly juga menuntut aparat penegak hukum menerapkan restorative justice dengan mempertemukan pelapor maupun terlapor, termasuk dalam kasus yang menjerat Said Didu.

Dia mengatakan, kesungguhan aparat dalam menjalankan pendekatan restorative justice dalam kasus ini bisa menjadi pandangan bagaimana pemerintah menghadapi kritik masyarakat dan dampaknya jika publik menyampaikan ekspresi.

"Aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, sungguh-sungguh lah menerapkan kebijakan restorative justice melalui mekanisme mediasi penal. Biar pihak-pihak pelapor dan/atau pengadu dipertemukan saja secara damai dengan pihak terlapor/teradu melalui prosedur 'out of court settlement'," tandasnya.

Adapun Said Didu dilaporkan ke Polresta Tangerang oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Tangerang dengan atas dugaan penyebaran berita hoaks dan informasi menimbulkan kebencian. Laporan itu terkait kritik PSN di PIK 2.

"Dasar kami (Kepala Desa, Lembaga, Ormas dan tokoh masyarakat) melaporkan Said Didu yaitu, yang pertama kepala desa dituduh memaksa warga menjual tanah kepada pengembang, yang kedua (dituduh) menggusur warga dengan semena-mena dengan cara yang tidak manusiawi," terang Ketua Apdesi, Maskota kepada media, Senin, 18 November.